Intisari-Online.com - Jika korupsi adalah sebuah budaya, maka koruptor adalah pelaku budaya atau budayawan. Adalah layak jika koruptor juga mendapat bintang tanda jasa atau gelar pahlawan budaya - kira-kira sejajar dengan pahlawan di bidang lingkungan hidup, kesenian tradisional, atau pembela negara. Semakin marak korupsi di suatu masayarakat, maka semakin berbudaya dan beradablah masyarakat tersebut.
Sebaliknya, orang yang tidak korupsi adalah orang yang tidak berbudaya dan tidak beradab. Pasti, mereka yang tidak melakukan korupsi adalah - yang di negeri awak disebut – tidak Pancasilais juga, karena menentang "Kemanusiaan yang adil dan beradab".
Jika korupsi adalah sebuah budaya, maka keberadaan dan perjuangan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) di negara adalah tindakan sangat tercela karena "melawan dan menentang" kemajuan masyarakat. KPK adalah penentang peradaban suatu bangsa.
Maka pikiran: "daripada berlelah-lelah memperjuangkan Anti Pornografi dan Pornoaksi dengan alasan bahwa kedua hal tersebut 'bukan budaya asli' - sekalipun masih dapat diperdebatkan, lebih baik berlelah-lelah menentang keberadaan KPK yang sangat jelas menentang budaya setempat", adalah sebuah pemikiran yang cemerlang.
Dalam sebuah masyarakat yang berutopia pada budaya korupsi, berkorupsi justru menjadi pembelajaran dan pembiasaan. Sejak muda dan sejak di sekolah, orang dididik untuk menjadi koruptor - sejajar dengan pembiasaan hidup sehat dan bersih, sikap rajin dan disiplin, tanggung jawab dan patuh hukum, yang telah ditanamkan sejak kecil.
Terlalu ganjen dengan penggunaan bahasa bukan hanya merusak pembahasaan, tetapi juga merusak budaya dan moral bangsa. Dengan demikian, boro-boro memberantas, korupsi justru tumbuh subur di masayarakat yang berbudaya korupsi. (Rasid Rachman, teolog dan pemerhati bahasa / Intisari edisi Februari 2011)(habis)