Intisari-Online.com - Setiap orang hampir bisa dipastikan pernah berjabat tangan. Dalam setiap pertemuan baik dengan teman kerja, rekan bisnis, saudara, atau anggota keluarga, jabat tangan sepertinya sudah menjadi tradisi yang tak pernah dilupakan. Bahkan sudah menjadi budaya.
Mungkin pula sebagian orang sudah menganggap jabat tangan adalah tindakan sepele karena gerakannya mudah dan dapat dilakukan siapa saja. Namun jangan salah, jabat tangan ini justru menjadi hal yang sangat istimewa saat ia muncul pertama kalinya.
Jabat tangan atau handshake awalnya merupakan simbol serah terima kekuasaan dari dewa atau Tuhan kepada penguasa duniawi. Dalam sejarah Mesir yang terekam dalam tulisan Mesir kuno atau Hieroglyphic, handshake berarti “memberi” dengan gambarnya tangan dewa yang diulurkan.
Merujuk pada sejarah Mesir itulah, sekitar 1800 SM, di Babylonia, pengalihan kekuasaan pada raja berikutnya dilakukan dengan cara tangan yang diulurkan. Raja waktu itu selalu mengenggam tangan patung Dewa Marduk, dewa peradaban.
Konon tradisi ini berlangsung bertahun-tahun dan rutin dilakukan saat festival tahun baru dimulai. Bahkan saat Babylonia berhasil diduduki oleh kerajaan Assyiria, raja-raja Assyiria pun turut mengabadikan tradisi mengulurkan tangan saat terjadi pengalihan kekuasaan.
Karena begitu polulernya, Michelangelo pelukis terkenal Italia membuat lukisan “The Hand of God Giving Life To Adam” di Kapel Sistine, kapel yang terletak di dalam lingkungan Istana Apostolik, kediaman resmi Paus di Vatikan.
Lukisan tersebut menggambarkan Tuhan mengulurkan telunjuk-Nya yang hampir bersentuhan dengan telunjuk Adam (manusia) yang terkapar tak berdaya.
Lukisan jabat tangan juga ditemukan di prasasti Yunani Kuno yang dipamerkan di Museum Pergamon Jerman. Dalam lukisan tersebut, tampak dua prajurit saling berjabatan tangan.
Menurut versi cerita rakyat zaman dulu, jabat tangan dilakukan pertama kali dilakukan oleh dua orang petani yang satu sama lainnya tidak saling kenal. Ketika keduanya bertemu mereka tiba-tiba mengulurkan tangan kanannya dan saling menggenggam satu dengan yang lain.
Jabat tangan tersebut menjadi tanda bahwa keduanya tidak membawa senjata tersembunyi dan menginginkan perdamaian. Akhirnya makna perdamaian ini diadopsi oleh Pengadilan Inggris pada akhir abad ke 16 untuk memberikan pelayanan yang baik pada semua orang.
Kebiasaan berjabat tangan pun akhirnya berhasil menggantikan model ciuman di mulut yang dilakukan di Inggris pada abad ke-19. Ketika para lelaki Inggris bertemu dengan wanita maka ia akan segera mencium bibirnya, meski berada di tengah kerumunan publik.
Namun sejak kebiasaan berjabat tangan berkembang cepat, lelaki Inggris lebih memilih model itu. Selain lebih sopan, jabat tangan juga menujukkan rasa hormat pada wanita.
Kepopuleran jabat tangan pun akhirnya menjadi budaya dalam sejarah peradapan manusia. Di beberapa negara, jabat tangan digunakan dalam berbagai macam situasi dengan maknanya yang berbeda pula.
Di negara-negara bekas jajahan Inggris misalnya, berjabat tangan merupakan standar salam untuk situasi bisnis yang bermakna kerja sama atau mau menyelesaikan perjanjian.
Di negara Arab, jabat tangan menjadi kebiasaan untuk mengucapkan salam kepada yang lain. Atau yang lain lagi, saat Lord Baden Powell, bapak pandu sedunia, menjadikan jabat tangan sebagai gerakan kepanduan khusus yang berarti perdamaian.
Berbagai makna simbolik muncul dalam gerakan jabat tangan. Dengan genggaman kuat, lemah sembari memutar tangan, mencengkeram, atau memegang bahu, semuanya bisa mengungkapkan perasaan Anda.
Jadi, bila Anda sedang dendam pada seseorang, kebencian itu pun bisa terlihat dari gerakan jabat tangan Anda dengan orang itu.
--
Tulisan ini dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 2011. Ditulis oleh Olive dengan judul asli “Berjabat Tangan, Lambang Perpanjangan Tangan Dewa”.