Intisari-Online.com -Black Widows kembali dikait-kaitkan dengan pengeboman yang terjadi di Volgograd, Rusia, Minggu, 29 Desember 2013. Dalam pengeboman yang terjadi tepat di pintu masuk stasiun kereta Volgograd, 16 orang meninggal dunia dan 45 lainnya luka-luka.
Istilah black widow atau Shahidka pertama kali digunakan oleh pers Rusia. Istilah ini ditujukan untuk mengelompokkan para janda yang rela menjadi martir demi menuntut balas atas kematian suami-suami—belakangan diduga tidak hanya suami, tapi anggota keluarga—dalam serangan yang dilakukan oleh militer Rusia. Penyebarannya berada di wilayaha Chechnya, Dagestan, dan Ingushetia. Kesemuanya berada di Kaukasus Utara.
Menengok sedikit ke belakang, salah satu penyerangan paling diingat adalah yang dilakukan pada September 2004. Saat itu, dua perempuan, Roza Nagayeva dan Mairam Taburova terlibat dalam penyerangan di sekolah North-Ossetian, Rusia. Sebanyak 334 warga sipil tewas, 186 di antaranya adalah anak-anak.
Aksi pertama yang dilakukan organisasi ini terjadi pada tahun 2000 ketika Khava Barayev meledakkan dirinya di pangkalan militer Rusia yang berada di Chechnya.
Untuk kasus terbaru tersebut, web milik pemerintah RIA Novosti mengidentifikasi bahwa pengebom perempuan yang berasal dari Dagestan, bernama Oksana Aslanova. Dari data yang didapat, perempuan tersebut pernah menikah dua pria muslim berbeda, di mana keduanya tewas saat bertempur dengan tentara Rusia.
Selama 14 tahun pemerintahan presiden Vladimir Putin, Black Widow diduga berada di balik berbagai serangan yang belakangan menggemparkan Rusia. Termasuk peledakan di stasiun metro, Moskow, pada Maret 2010 yang menewaskan 35 orang dan pengeboman di Volgograd pada Oktober 2013 berbarengan dengan Olimpiade Musim Dingin 2013.
Sementara itu di kalangan sparatis Rusia sendiri, keberadaan Black Widow sangat dilematis. Ada kepercayaan di kalangan sparatis, janda yang ditinggal mati oleh suaminya adalah beban. Yang paling ironis adalah kepercayaan bahwa kematian suaminya adalah bentuk balasan terhadap dosa yang mereka (janda-janda) lakukan sebelumnya.
Oleh karena itu, menjadi martir bom bunuh diri adalah pilihan yang paling realistis. Beberapa pucuk kepemimpinan di Chechnya sejatinya tidak mengakui keberadaan kelompok ini, tapi di sisi lain, ada kabar yang mengatakan bahwa Panglima Perang Chechnya, Shamil Basayev sangat mendukung tindakan yang dilakukan oleh janda-janda “sakit hati” tersebut.
Menurut paparan yang dikeluarkan oleh National Consortium for the Study of Terorism and Responses to Terorism yang berbasis di Universitas Maryland, secar pribadi Shamil mengaku telah melatih 50-an anggota Black Widows dalam melancarkan aksi-aksi terornya.