Intisari-Online.com - Suara gemuruh terus bersahutan menjelang pukul 23.00, Kamis (13/2). Gemuruh itu langsung diikuti dentuman hebat.
Malam itu, umat manusia menyaksikan dahsyatnya letusan Gunung Kelud, salah satu gunung api paling aktif di dunia ini. Suara dentuman itu terus susul-menyusul dan makin menghebat sepanjang malam hingga Jumat dini hari.
Suasana makin mencekam karena petir ikut bersahutan sepanjang dini hari tanpa henti. Teror bagi warga semakin berat karena penerangan di daerah lereng Kelud di sekitar Kecamatan Puncu, Kepung, dan sekitarnya mati.
Warga di lereng Kelud itu menyaksikan api lava pijar itu menjulur ke arah desa. Kontras dengan gelapnya malam itu. Pijar api itu seolah berlari tanpa henti mengejar warga yang mulai tergopoh-gopoh menyingkir dari desanya.
"Jilatan api ini seperti terus mengejar kami. Ini letusan paling hebat," tutur Sujarwo, warga Desa Kenonrejo, Kecamatan Kepung kepada Surya di tempat pengungsian, Jumat (14/2/2014) pagi.
Meski tampak jelas pijar api itu mendekati desa, ia dan sejumlah warga lain masih bertahan untuk menjagai rumah. Sebelumnya, anak istri mereka sudah lebih dulu diungsikan ke gedung SDN Siman yang dirasakan aman.
Sebenarnya, dengan status awas, warga yang tinggal di zona di bawah 10 km dari kawah, harus mengungsi ke tempat aman. Pemerintah setempat sudah berkali-kali menyosialisasikan hal itu. Desa mereka terletak 8 km dari kawah.
Walaupun akhirnya Sujarwo dan para tetangganya ikut menyusul ke pengungsian, ia mengaku mendapatkan pengalaman luar biasa, yaitu menyaksikan detik-detik letusan Gunung Kelud.
Mereka menyaksikan fenomena alam itu dengan degdegan karena mungkin pengalaman itu bisa mengakhiri hidup mereka.
Meski begitu, kata Sujarwo, ada juga tetangga mereka yang yakin isi perut Gunung Kelud itu tidak akan menjangkau mereka, setidaknya malam itu.
"Letusan Kelud kali ini begitu cepat dan terjadi tengah malam. Berbeda saat 1990, Kelud meletus siang hari. Karena malam inilah, pijaran api terus menjulang ke langit. Seperti kembang api tapi menyala merah menyala," kata Qomarudin, warga Puncu.
Qomar yang mengaku pernah menjumpai letusan Kelud sebelumnya, menjelaskan cuaca dan hawa yang hampir sama. Sebelum saat yang ditunggu itu tiba, cuaca dan hawa panas terus terasa.
Namun bedanya letusan kali ini begitu cepat dari perkiraan warga. Salah satu tanda gunung bakal meletus adalah turunnya binatang hutan ke perkampungan. Menurut Qomar, warga setempat tidak menjumpai pertanda itu.
"Hawa dan cuaca panas mulai dirasakan warga sebelum magrib hingga puncaknya pukul 21.00. Saat itu lah, warga yakin bahwa Kelud segera meletus. Sayang malam. Tapi ngeri betul karena selama dua jam petir dan kilat tanpa henti menyambar," sahut Mustakim saat ditemui di pengungsian SD Siman.
Bagi warga lereng Kelud, mereka masih ingat dan ngeri namun senang melihat jilatan api di langit Kamis malam itu. Mereka hapal betul bahwa sebelum dentuman keras sebagai tanda puncak letusan, akan diawal semburan asap pekat. Asap yang menggulung-gulung itu tak tampak malam kemarin. Malam itu lereng Kelud gelap gulita.
"Hawa begitu panas. Kalau siang hari pasti tampak gulungan asap seperti wedus gembel terus menjulang ke langit. Karena malam, gelap sekali. Setelahnya tejadilah letusan hebat. Kemudian sepanjang 3 jam, hujan pasir bercampur batu menyusul," kata Mustakim.
Pengalaman menantang bahaya itu juga diungkapkan Heri, warga Desa Kebonrejo, Kepung.
"Saya takut karena jilatan api itu rasanya sudah persis di atas kepala saya. Seperti tinggal satu meter," kata Heri tak percaya. Setelah menyaksikan letusan Kelud itu, rasa takut pun menghinggapi mereka, sehingga mereka pun memutuskan itulah saatnya lari ke pengungsian di SDN Siman.
Jumat pagi, diketahui bahwa sejumlah sejumlah rumah di desa itu ambruk karena tak kuat menahan beban abu dan kerikil vulkanik yang menumpuk di atap. (surabaya.tribunnews.com)