Kepribadian Berubah Akibat Jamur

J.B. Satrio Nugroho

Editor

Kepribadian Berubah Akibat Jamur
Kepribadian Berubah Akibat Jamur

Intisari-Online.com - Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Universitas John Hopkins, Amerika Serikat, memberikan bukti tersebut. Perubahan kepribadian karena “jamur ajaib” yang kontroverisal itu tidak butuh waktu lama, hanya dalam waktu satu tahun. Sekitar 60 persen dari 51 responden mengalami perubahan tersebut.

Perubahan yang paling besar ditemukan di salah satu bagian kepribadian, yaitu keterbukaan, yang melingkupi imajinasi, estetika, perasaan, gagasan abstrak, dan pemikiran umum. Perubahan di sifat-sifat tersebut, diukur dari kemunculannya dan hasil pengukuran kepribadian yang valid, mempunyai hasil yang lebih besar dibandingkan penelitian sejenis untuk remaja yang sehat sebelumnya. Para peneliti juga menyebutkan bahwa setelah usia 30, kepribadian cenderung tidak mengalami perubahan yang signifikan.

“Normalnya, sikap keterbukaan tersebut cenderung menurun ketika orang semakin tua,” kata pimpinan penelitian ini, Roland R. Griffiths. Dia adalah profesor psikiater dan ilmu tingkah laku di Universitas John Hopkins.

Hasil penelitian ini diterbitkan di Journal of Psychopharmacology. Penelitian itu sendiri didanaisebagian oleh National Institute on Drug Abuse, lembaga yang mengurusi masalah penyalahgunaan obat-obatan Amerika Serikat.

Penelitian tentang jamur yang sering hidup di antara kotoran sapi atau kuda ini dilakukan dalam beberapa sesi. Dua sampai lima sesi dilakukan responden dengan mengonsumsi jamur ini –tiap sesi berdurasi delapan jam. Sesi-sesi tersebut dibagi dalam waktu tiga pekan.

Di setiap sesinya, para responden ini diminta untuk berbaring di sofa, menggunakan penutup mata, menggunakan headphone yang memperdengarkan musik, dan fokus pada pengalaman halusinasinya.

Dalam waktu satu sampai dua bulan pelaksanaan sesi konsumsi jamur tersebut dan kira-kira 14 bulan total dilakukannya sesi, barulah disaring hasil penelitian kepribadian mereka. Peneliti menyatakan bahwa pola kepribadian mereka ada perubahan, dan perubahan itu bersifat permanen.

Hampir semua responden menyatakan bahwa mereka jadi lebih aktif secara spiritual: berpartisipasi dalam acara keagamaan, doa, atau meditasi. Lebih dari separuh jumlah responden tersebut bergelar sarjana. Para responden ini dinyatakan sehat secara psikologis sebelum penelitian.

“Tapi kami belum bisa memastikan apakah temuan ini bisa digeneralisasi untuk populasi yang lebih besar,” ungkap Griffiths.

Griffiths juga menyatakan bahwa beberapa responden dilaporkan menunjukkan sikap ketakutan dan kegelisahan yang besar saat sesi halusinasi tersebut, meskipun tidak ada yang berhalusinasi sampai berisiko bahaya. Dia memperingatkan, jika zat hallucinogen ini dipakai tanpa kontrol orang yang tidak terpengaruh zat tersebut, kemungkinan perasaan-perasaan gelisah dan ketakutan tersebut memicu perbuatan yang berpotensi bahaya.

Griffiths mengungkapkan bahwa di penelitian tersebut, perubahan kepribadian terjadi secara spesifik pada para responden yang mengalami pengalaman “mistis”, seperti yang ditunjukkan dari hasil jawaban kuestioner pada sesi-sesi awal. Dia mendefinisikan pengalaman “mistis” tersebut sebagai perasaan keterkaitan dengan semua orang dan barang yang juga mengiringi perasaan “sakral” dan “pemujaan”.

Pengukuran kepribadian itu dihitung dengan metode yang lazim digunakan dan dinyatakan valid secara sains, yang mencakup keterbukaan dan empat unsure psikologis kepribadian yang lain: neuroticism(kecenderungan untuk mengalami perasaan yang negatif), extroversion (sikap peduli pada keadaan sekitar), agreeableness (kecenderungan untuk mencari perasaan nyaman, dan mengakomodasi situasi sekitar), dan conscientiousness (sikap hati-hati dan mengandalkan suara hati). Hanya sikap keterbukaan yang berubah selama penelitian ini.

Griffiths mengatakan keyakinannya bahwa zat psilocybin berpotensi digunakan untuk sarana terapi. Dia pernah melakukan penelitian bagaimana zat tersebut digunakan untuk membantu pasien kanker dalam mengatasi rasa depresi dan kegelisahan yang selalu menghantui saat proses diagnosis. Selain itu, dia juga pernah melakukan penelitian, menggunakan terapi zat psilocybin untuk membantu perokok berat mengatasi kecanduannya.

“Pasti ada aplikasi yang tepat dari zat ini, yang belum terbayangkan saat ini,” katanya. “Hasil penelitian awal ini layak dilanjutkan, dengan penelitian yang lebih sistematis.”