Intisari-Online.com – Ketika mengalami keracunan makanan, banyak orang menganggap setelah satu atau dua hari, kondisi tubuh mereka akan membaik dan semuanya akan baik-baik saja. Benarkah hal tersebut?
“Itu tidak benar,” kata Bethany Thayer, ahli diet dan juru bicara resmi dari Academy of Nutrition and Dietetics di America.
Menurut Thayer, kasus keracunan makanan menyebabkan setidaknya 48 juta penyakit dan 3.000 kematian setiap tahun di negara tersebut.
“Seberapa buruk kondisi seseorang tergantung pada bakteri yang menyebabkan keracunan, berapa banyak yang telah dimakan, dan sistem kekebalan tubuh orang itu sendiri,” kata Thayer, seperti dilansir Woman’s Day.
Bayi, balita, ibu hamil, dan orang tua adalah yang paling rentan terhadap kondisi serius akibat keracunan makanan. Risikonya tinggi bahkan bisa terasa dalam jangka panjang.
Apa efek jangka panjang dari keracunan makanan? Food Safety merangkumnya sebagai berikut.
- Gagal ginjal. Karena infeksi pada sistem pencernaan yang menghancurkan sel-sel darah merah, ginjal menjadi terluka. Hal ini terjadi ketika seseorang diracuni oleh bakteri E. coli.
- Arthritis akut. Pada beberapa orang yang mengalami keracunan makanan yang disebabkan oleh Shigella atau bakteri Salmonella, mereka juga merasakan peradangan pada sendi, iritasi mata, dan nyeri pada organ intim saat buang air kecil. Selama beberapa bulan bahkan tahunan, arthritis dapat menjadi lebih buruk dan lebih sulit disembuhkan.
- Saraf dan kerusakan otak. Jika bayi baru lahir terinfeksi bakteri Listeria, efek jangka panjang akan menyebabkan gangguan mental, tuli, kebutaan, hingga lumpuh.
- Kematian. Di Amerika, sekitar 3.000 warga meninggal akibat penyakit yang disebabkan oleh keracunan makanan. Organisme yang menyebabkan kematian karena keracunan makanan adalah Salmonella, toksoplasma, Listeria, norovirus, dan Campylobacter.
Masalah keracunan makanan tentu saja tidak bisa dianggap sebagai masalah yang sepele. Jangan ragu untuk menghubungi dokter jika Anda mengalami keracunan makanan.