Meniti Tali Ala Jokowi

Lily Wibisono

Editor

Meniti Tali Ala Jokowi
Meniti Tali Ala Jokowi

Intisari-Online.com - Sinta senyum-senyum memandangi gambar ilustrasi Jokowi sedang berjalan di atas tambang dengan membawa tongkat panjang di salah satu situs berita hari ini. “Siapa bilang jadi presiden gampang?” ia membatin.

Sedang asyik-asyiknya memelototi laptopnya di meja makan sembari menanti masakannya matang di atas kompor, telepon rumahnya berbunyi nyaring. Ternyata mertuanya.

“Sinta, ini Mama. Jadi nanti temani Mama ke Pasar Baru?”

“Jadi dong Ma. Saya jemput sekitar sejam lagi, setelah saya selesai memasak ya?”

“Oke, Mama tunggu.”

Mama mertuanya orang yang disiplin. Maklum, hasil didikan zaman dulu. Baru saja ia beranjak akan mengecek masakan di kompor, ponselnya berbunyi. “Ma, aku bebas dua jam pelajaran hari ini. Bisa jemput aku?” suara centil Lia terdengar.

“Oh, tapi ...” belum selesai ia menjawab, Lia sudah menyergap dengan suara manjanya,

“Sekalian antar aku ke kursus menggambar X? Hari ini terakhir program promosi diskon 20% lo Ma. Mama lupa ya? Kan sudah sejak dua minggu lalu. Mama yang suruh aku harus belajar menggambar karena aku ingin lanjut ke Arsitektur.”

O oh, tentu dia ingat. “Oh Sayang, gimana kalau nanti sore saja Mama antar kamu, sekarang kamu pulang sendiri atau nebeng si Once?”

“Pulang sendiri sih bisa, tapi nanti sore aku ada les Ma. “

O oh. Inilah akibatnya kalau senang menunda. Gawat.

“Beri Mama 10 menit.” Ponsel ia matikan. Janji kepada Mama mertua sudah sejak seminggu yang lalu. Ia tak berani sembarang membatalkan. Tapi Lia juga perlu diantar karena harus membayar di muka dan jumlahnya cukup besar. Dibukanya Waze, mengecek kepadatan lalu lintas. Satu ke Pasar Baru, satunya ke sekolah Lia dan ke tempat les di arah yang berlawanan dan jauh jaraknya. Kedua arah cukup padat.

Diteleponnya mama Ardi. Andaikan telepon mereka mempunyai monitor seperti di film-film sci-fi, akan tampak ekspresi wajah Sinta yang paling manis. “Senjata rahasia” yang berguna setiap kali ia membutuhkan sesuatu yang sangat penting, paling sering dari Ardi.

“Saya cuma baru ingat mau minta pendapat Mama.”

“Oh, tentang apa?” Mama terdengar terbangkit minatnya, seperti yang selalu terjadi kalau ia ditanya oleh anak dan menantunya.

“Menurut Mama Lia sebaiknya melanjutkan ke mana setelah SMA nanti?”

“Oh tentu ke jurusan seni rupa, desain atau arsitektur. Kan Mama sudah pernah kasih tahu dia. Bakatnya ke sana.”

Sinta tahu, Mama pasti tahu, karena ia menyimpan kopi nilai rapor semua cucunya. “Ma, Lia bilang ingin masuk arsitektur.”

“Bagus.”

“ Untuk itu ia perlu ikut kursus menggambar supaya dapat diterima di universitas unggulan. “

“Oh, bagus dong,” Mama menukas,

“Tapi biayanya mahal ...”

“Tak apa karena perlu. Mama masih punya tabungan ...”

“Oh bukan, bukan, Mama. Sinta dan Ardi tak ada masalah keuangan. Nah, kursus itu sedang membuka program diskon yang lumayan. Bagaimana kalau Mama sekalian antar saya dan Lia mendaftar ke sana siang ini, sebelum ke Pasar Baru?”

“Tak masalah.” Sinta dapat merasakan senyuman mertuanya sambil mengatakan hal itu.

Maka berdua mereka pergi menjemput Lia di sekolahnya, lalu bersama-sama mendaftar ke kurus menggambar di “ujung dunia” sana. Mama tersenyum bangga memandang cucu yang disayanginya bersemangat belajar. Bahkan ia tak keberatan men-drop Lia ke tempat lesnya, baru setelah itu mereka ke Pasar Baru. Meski waktu belanjanya jadi sempit.

“Maaf Ma, Mama jadi ikut repot,’ kata Sinta.

“Cucu mau belajar baik, masa Mama tak mendukung?” katanya sambil melirik ke menantu bungsunya. Ia senang berjalan-jalan dengan Sinta, karena Sinta bisa berjalan cukup pelan mengikuti irama langkahnya yang sudah tak segesit dulu. Meskipun Sinta agak acak-acakan, suka telat, dan melupakan janjinya kalau tidak diingatkan. Sinta pintar mencari penyelesaian dengan halus, sabar, dan respek terhadap dirinya. Seperti yang dilakukannya pagi ini.

“Menantuku ini tahu mencari jalan damai. Dia memiliki kecerdasan, kesabaran, dan kemauan untuk itu,” gumamnya dalam hati.

Sinta sendiri sambil berjalan santai berpikir, “Mungkin akhir minggu ini kuajak lagi Mama ke Pasar Baru, kalau ia masih belum puas hari ini.” Diliriknya Mama, yang tampaknya sangat menikmati jalan-jalan sore di tempat penuh nostalgia masa lalunya.

Baru ia akan membuka mulut, mama Ardi mengajak masuk ke salah satu toko pakaian, “Sin, yuk masuk ke situ. Pilihlah, daster atau blus untuk sehari-hari kamu. Kan kemarin Mama baru gajian ... he he he.”

Kemarin Ardi memang baru memberi mamanya uang jajan bulanan. Dan ia tak pernah tega menolak, kalau Mama ingin membelikan dia sesuatu sehabis “gajian”.

Tak lama mereka berdua asyik memilih bersama daster yang paling manis modelnya dan enak dipakai. Sinta sengaja mencari yang harganya tak mahal. Tak begitu bagus, tak apalah. Ia teringat pada berita tadi pagi di situs. “Menjadi presiden memang sulit, tapi menjadi ibu sekaligus menantu dan istri juga rumit lo Pak,” gumamnya membayangkan Pak Presiden ada di hadapannya. “Apalagi kalau maunya memilih jalan damai ketimbang kekuasaan.”

slide 8 to 10 of 6