Hari Film Nasional: Sejarah Sinematek Indonesia dan Pengorbanan Nani Wijaya

Moh Habib Asyhad

Editor

Hari Film Nasional: Sejarah Sinematek Indonesia dan Pengorbanan Nani Wijaya
Hari Film Nasional: Sejarah Sinematek Indonesia dan Pengorbanan Nani Wijaya

Intisari-Online.com -Sinematek Indonesia didirikan tahun 1975. Namun kisah berdirinya Sinematek atau perpustakaan dan kearsipan film itu, yang kini menyimpan lebih dari 3.000 judul film Indonesia sejak film Loetoeng Kasaweng (L. Heuveldorp, 1926) sampai Laskar Pelangi (Riri Riza, 2008) dalam ruang pendingin di bawah tanah bersuhu 5° - 7°C tersebut, tidaklah seindah yang dibayangkan. Banyak hal yang harus dikorbankan.

Gagasan tentang pusat dokumentasi film di benak Misbach, tampaknya semula muncul secara "naluriah" saja pada 1970. Seperti dapat diikuti dari pengakuan berikut:

"Saya dan Asrul menghadiri pemakaman wartawan dan orang film, Boes Boestami. Orang itu rajin mengumpulkan foto-foto adegan film dari masa sebelum perang. Sering dimuat dalam majalah Aneka. Saya senang melihat foto demikian berikut teksnya yang menyinggung film masa lalu. Di pekuburan itu pikiran saya jadi melayang. Saya benar-benar merasa perlu dengan adanya lembaga dokumentasi film. Salah satu pertimbangannya karena banyak langkah orang film dewasa ini yang mengulangi salah langkah yang dilakukan orang pada masa lampau. Ini disebabkan tidak adanya dokumentasi sebagai tempat orang bercermin ke belakang.

"Saya sampaikan kepada Asrul pikiran saya itu. Asrul setuju. Memang lembaga dokumentasi film diperlukan, tapi membangun lembaga serupa itu sangat sulit. Saya bilang walau bagaimana harus ada yang memulai. Kalau tidak, semakin lama data sejarah akan semakin sulit ditemukan."

Singkat cerita, alih-alih Misbach hanya usul, ternyata ia didaulat untuk bertanggung jawab terhadap gagasan pentingnya pusat dokumentasi itu. Sebagai Rektor Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ, kini IKJ), Asrul Sani dapat mengusahakan dana Rp20.000 bagi Misbach guna memborong foto-foto koleksi Boes Boestami.

Apa lacur, ternyata dokumentasi milik Pak Boes sudah habis dijual kepada orang-orang film. Kepada siapa saja foto-foto kuno itu beliau jual, isterinya tidak tahu, yang tersisa di rumah cuma satu besek kecil foto-foto rusak di kolong lemari. Itu adalah foto-foto adegan film tahun 1950-an ukuran 6 x 9 cm atau lebih kecil. Sebagian besar sudah terkelupas di sana-sini.

"Saya jadi lemas," kenang Misbach, "uang LPKJ ternyata hanya berguna sebagai sumbangan. Ini menjadi tanggungjawab saya yang berat."

Betapapun, foto-foto dalam besek itulah modal pertama lembaga dokumentasi film pada akhir 1970, ketika Misbach mendapat ruang kosong di dekat kantor Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang menurutnya hanya berisi, "Lemari-lemari buku kosong, meja baca, dan debu.

Dengan subsidi Rp5.000 per bulan Misbach mulai bekerja. Tentu saja tanpa gaji. Padahal isterinya, bintang film Nani Wijaya, yang penghasilannya lumayan untuk "mendukung" idealisme Misbach, sedang tak bisa bekerja karena mengandung anak ketiga. Ajip Rosidi masih ingat, Nani Wijaya sampai berjualan sirop agar keluarganya bertahan hidup.

Kita ikuti dalam kalimatnya sendiri perjuangan Misbach yang mengharukan.

"Semua alat kerja saya bawa dari rumah: mesin tik, gunting, penggaris, karet penghapus dan sebagainya. Banyak keperluan kerja saya beli dengan uang pribadi. Tiap pagi saya berkantor di ruang kosong itu, pulang jam tiga sore.

"Langkah pertama adalah mengenali foto-foto lama, siapa saja yang ada dalam foto? Adegan dari film apa? Tahun berapa? Saya dapat tambahan foto dari sana-sini. Ke mana-mana saya membawa satu tas foto untuk saya tanya kepada orang film lama yang saya jumpai. Kebanyakan mereka sudah lupa adegan film apa atau peristiwa apa, meski dia ada dalam foto itu. Ada juga yang begitu melihat foto yang saya berikan, dia menangis, jadi susah menggali keterangan darinya.

"Untuk pergi ke sana ke mari saya naik bus dan jalan kaki. Untuk merekam wawancara, tape recorder-nya harus pinjam dulu. Saya pribadi tidak punya alat itu. Dari penelusuran itu, saya mendapatkan sebagian dokumentasi Andjar Asmara; ketemu sutradara film tahun 1940-an, Tan Tjoei Hock, yang telah menjadi wartawan olahraga dengan nama Tanu Trh.; ketemu produser paling produktif masa sebelum Perang Dunia II, The Teng Chun; dan bertemu juga dengan dua dari tiga bersaudara Wong, yakni Joshua dan Othniel Wong.”

Di sebuah negeri yang 99,9 % penduduknya sampai tahun 2009 masih akan bertanya, "Apa itu Sinematek?", wajarlah jika Misbach merasa dirinya bagai Don Kisot, yang berperang dengan apalagi namanya jika bukan kepala batu kebodohan.Artikel ini pernah ditulis di Intisari edisi Juli 2009 dengan judul asli "Sinematek Indonesia, Kebanggaan yang Diterlantarkan".