Bukti Tertua adanya Tradisi Jawa Ruwatan

K. Tatik Wardayati

Editor

Bukti Tertua adanya Tradisi Jawa Ruwatan
Bukti Tertua adanya Tradisi Jawa Ruwatan

Intisari-Online.com – Tradisi Jawa yang satu ini sering kali membawa mereka yang percaya pada keadaan dilematis psikologis. Kegelisahan batin akan mengusik jiwa mereka jika upacara ruwatan untuk keselamatan anaknya tidak dilaksanakan. Sementara pelaksanaannya butuh biaya tidak sedikit. Masih perlukah tradisi Jawa ruwatan dilestarikan?

--

Jadi, menurut Subalidinata, munculnya kesan bahwa ruwatan itu menjurus pada hal-hal yang berbau musyrik atau takhayul seharusnya tak perlu terjadi. Bahkan pakar kesusastraan Jawa ini beranggapan ruwatan sebagai adat tradisional dapat terlestarikan dan relevan dengan kehidupan sekarang, asalkan ada pemahaman dan penghayatan atas makna di dalamnya. "Nilai-nilai yang terkandung di balik ruwatan itulah yang sakral, bukan proses upacaranya atau wayangnya dan sejenisnya," ungkapnya.

Lalu Subalidinata, penulis buku Sejarah dan Perkembangan Murwakala dan Ruwatan dari Sumber-Sumber Sastra Jawa (1985) itu berkata lagi, "Sayangnya masyarakat sekarang banyak yang lupa atas nilai-nilai ruwat tersebut. Ikut meruwat anak hanya karena gengsi atau kelebihan uang. Akibatnya, tidak sedikit upacara ruwatan hanya tinggal kebudayaan tanpa pemahaman makna luhur dun tradisi itu sendiri."

Bagaimanapun upacara ruwatan kini sudah menggejala di berbagai kota di Jawa, bukan hanya di Yogyakarta. Di Jakarta beberapa waktu lalu kabarnya juga diselenggarakan, ruwatan masal. Sedangkan di Surabaya, tanggal 11 Juli 1993 terselenggara ruwatan masal yang diikuti oleh 167 anak sukerto dari 97 keluarga dari berbagai penjuru masyarakat Jawa Timur. Ini semua membuktikan, ruwat atau lukat yang berarti penyucian diri masih melekat dalam konsep kepercayaan masyarakat Jawa, terlepas dari keragaman motivasinya.

Sejak kapan masyarakat Jawa mengenal ruwat? Sukar ditebak, apalagi diketahui pasti. Yang jelas, bukti tertulis yang tertua, kata ruwat terdapat dalam lontar kuno Ramayana dari abad IX pada masa Mataram kuno. Lalu pada masa Kerajaan Kediri sekitar abad M kata ruwat atau lukat yang berarti menghapus atau membebaskan penderitaan ditemukan juga dalam berbagai lontar suci seperti lontar Hariwangsa, Sumanasantaka. Akhirnya, pada masa Majapahit istilah ruwat subur menghiasi karya sastra bentuk kakawin (puisi) dan kidung (nyanyian) seperti misalnya Kakawin Kunjarakama.

Kecuali itu, ada pula bukti visual ruwat terpahat apik di beberapa tembok candi di Jawa Timur. Candi Surawana dan Tigawangi di Kediri (Jawa Timur) misalnya, barangkali bukti paling klasik tentang ruwat yang dicuplik dari kidung sakral Sudamala zaman Majapahit pertengahan abad XIV. ,

Tema kisah ruwat dalam naskah-naskah kuno umumnya cenderung mengenai pembebasan makhluk sengsara yang semula dewa. Karena kutukan, ia berubah wujud menjadi binatang atau raksasa yang akan berubah wujud sempurn kembali setelah diruwat oleh manusia.

Upacara ruwatan ternyata juga menarik perhatian peneliti Belanda. Pigeaud (1960), pakar sejarah kuno Indonesia, dalam ulasannya menyatakan, pada zaman Seda Krapyak awal abad XVII, dalang Anjang Mas dari Kedu mengubah upacara ruwatan yang semula dilakukan dengan wayang beber dengan wayang kulit.

Upacara ruwat diduga semula untuk kesucian hidup surgawi yang akhirnya berkembang ke masalah nasib hidup duniawi. Kemunculan tradisi ruwat itu pun ditafsirkan berasal dari lingkungan keraton yang akhirnya menyebar dan berkembang menjadi milik masyarakat luas.

"Pengertian ruwat sejak dulu memang sudah ada," ujar Drs. Subalidinata. Ruwatan sekarang sangat mungkin merupakan perkembangan dari ruwat zaman dulu yang memiliki nilai religius. "Saya setuju kalau nilai-nilai tradisi lama itu dilestarikan. Cuma sayangnya, sekarang ini apa-apa bisa diruwat, bahkan diselenggarakan mewah di hotel-hotel berbintang sebagai daya tarik wisatawan."

Ruwatan sebenarnya proses suci dalam rangka manusia mengoreksi diri untuk kembali pada jalan yang benar. Tapi sekarang proses suci ini banyak dimanfaatkan beberapa pihak untuk tujuan komersial. "Seharusnya mereka ingat esensi yang sebenarnya dengan berpatokan pada tujuan semula dari duniawi ke rohani."

--

Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Terawang di Majalah Intisari edisi September 1993 dengan judul asli Ruwat, Sebuah Ungkapan Kepasrahan Diri. Ditulis oleh koresponden Intisari B. Soelist.