Petisi Online, Cermin Kebangkitan Kaum Muda?

Rusman Nurjaman

Editor

Petisi Online, Cermin Kebangkitan Kaum Muda?
Petisi Online, Cermin Kebangkitan Kaum Muda?

Intisari-Online.com - Dalam sejarah Indonesia, kita pernah mendengar Petisi 50. Tapi petisi ini lahir dari “semangat zaman” yang sangat berbeda. Petisi 50 muncul di zaman Orde Baru yang sangat represif. Sementara fenomena petisi daring yang muncul sekarang lebih diwarnai gejala kebangkitan kaum muda. Faktanya, 64,2 % pengguna Internet di Indonesia berusia rata-rata 12-34 tahun.

Ini sekaligus menepis anggapan bahwa kaum muda tak peduli politik atau apatis. Mereka dianggap cuma mikirin dirinya sendiri: sekolah, karier, asmara, dan lain-lain. Usman Hamid, Direktur Kampanye change.org tak memungkiri, memang masih ada yang seperti itu. “Tapi media sosial seperti memberi senjata baru pada mereka untuk tidak diam,” kata Usman. Lewat media sosial kaum muda bisa mengekspresikan pandangan-pandangannya, keperihatinannya, aspirasinya, atau kritiknya terhadap sistem, dengan skala yang sangat luas dan kecepatan yang luar biasa.

Dahulu untuk menggalang dukungan perlu waktu lama. Teknologi media memang sudah ada. Hanya masih bersifat searah, masih bersifat “one for all”, dari satu sumber untuk orang banyak. Tak ubahnya watak media mainstream umumnya.

Sedangkan sebagai wadah pengumpulan suara, laman petisi daring macam change.org ini berbeda. Ia bisa menunjukkan bahwa keprihatinan seseorang itu tidak sendiri atau tidak main-main, tetapi banyak didukung oleh orang lain. Teknologi ini seperti memberikan jalan untuk menunjukkan bahwa orang-orang yang selama ini tidak bisa bersuara itu diberi semacam medium baru untuk bersuara.

Misalnya, ketika terjadi pemukulan oleh oknum polisi terhadap aktivis lingkungan di Palembang. Yang pertama bicara bukan aktivis Walhi, Kontras atau Komnas HAM. Tapi yang bicara pertama kali adalah komunitas orang banyak atau individu. Mulai dari ibu rumah tangga, artis, hingga seorang eksekutif, ikut bicara tentang peristiwa tersebut lewat media sosial.

Respon publik tersebut muncul sebagai kontrol untuk mengoreksi kekuasaan yang lalim atau korup. “Berbeda dengan pandangan pemerintah yang menganggap dinamika di media sosial itu sebagai kegaduhan, kami menganggap ini sebagai wujud partisipasi publik,” timpal mantan aktivis Kontras itu.