Indonesia Siap Menyambut 4G LTE

Ade Sulaeman

Editor

Indonesia Siap Menyambut 4G LTE
Indonesia Siap Menyambut 4G LTE

Intisari-Online.com - Setelah tata ulang jaringan 3G di frekuensi 2.100 MHz selesai pada Senin (21/10/2013), Indonesia kini siap menyambut jaringan 4G Long Term Evolution (LTE) yang regulasinya akan disusun oleh pemerintah.

Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, mengatakan, pihaknya akan membuka peluang bisnis 4G LTE pada akhir 2013. "Kita akan buka regulasinya, termasuk memberi tahu memakai frekuensi berapa, dan bagaimana cara mendaftarkannya," ujar Tifatul di sela acara Internet Governance Forum di Nusa Dua, Bali, Senin (21/10/2013).

Meski regulasinya diharapkan hadir pada akhir 2013, namun layanan komersialnya baru akan diluncurkan di tahun 2014.

Akhir tahun ini, Kemenkominfo akan melakukan uji publik Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang penyelenggaraan 4G LTE. "Kita sedang susun RPM-nya," jelas Tifatul.

Ia belum mengungkapkan di frekuensi berapakah 4G LTE akan digelar. Bagi sejumlah pihak, frekuensi 700MHz dinilai sebagai "frekuensi emas" untuk menyelenggarakan 4G LTE. Namun, saat ini frekuensi tersebut penuh digunakan untuk siaran televisi analog.

Kemenkomifo sedang melakukan program digitalisasi televisi yang akan menghapus siaran televisi analog dan diharapkan ada frekuensi bebas di frekuensi 700MHz untuk alokasi jaringan 4G LTE.

Namun, program digitalisasi televisi tersebut baru selesai paling cepat pada 2017. Sehingga, Kemenkominfo harus mencari frekuensi lain untuk menyelenggarakan 4G LTE.

Dalam ekosistem global, frekuensi favorit untuk penyelenggaraan LTE di berbagai negara adalah 700MHz, 1.800MHz, 2.100MHz, dan 2.600MHz.

General Manager Technology Roadmap & Acquisition Telkomsel, Edyson B. Tamba, berpendapat, pemerintah harus memilih frekuensi yang terbaik untuk kondisi Indonesia dan harus mengikuti ekosistem global. Jika negara memilih frekuensi yang tidak populer, maka konsumen dan perusahaan telekomunikasi harus berinvestasi lebih banyak.

"Ada sebuah riset yang menyatakan bahwa, kalau negara salah pilih teknologi yang tidak populer di pasar global, konsumen harus mengeluarkan uang lebih mahal 14 persen untuk beli perangkat ponsel atau tablet. Karena perangkat model tersebut tidak diproduksi secara massal," terang Edyson, beberapa waktu lalu. (Aditya Panji / kompas.com)