Berkaca dari Chernobyl

Agus Surono

Editor

Berkaca dari Chernobyl
Berkaca dari Chernobyl

Gempa yang melanda Jepang menyebarkan ancaman lain: radiasi radioaktif dari PLTN Fukushima yang meledak. Ancaman bahaya serupa Chernobyl pun menghantui warga Jepang yang belum lepas dari trauma tsunami.

Berkaca kepada Chernobyl memang membuat kita miris dan prihatin. Akibat kebocoran reaktor nuklir Chernobyl masih berlangsung beberapa tahun setelahnya. Intisari April 1991 menurunkan kisah setelah lima tahun tragedi Chernobyl.

Reaktor Chernobyl yang terletak 130 km di sebelah utara Kiev, Ukraina mengalami kebocoran pada Sabtu, 26 April 1986. Amukan api yang menghanguskan instalasi nuklir dalam suhu 4.000^o C bisa diatasi dengan cepat. Namun penanganan efek radiasi membutuhkan waktu yang lama.

Kegelisahan tak hanya dialami oleh Soviet pada waktu itu. Negara tetangga seperti Jerman, Finlandia, Denmark, dan Swedia tak kalah cemasnya setelah mendeteksi adanya awan radiasi di wilayah mereka. Sebagai bentuk simpatinya, Mikhail Gorbachev menyerahkan uang hadiah Nobel 1990 yang diterimanya sebesar AS $ 715.000 untuk membantu anak-anak korban radiasi nuklir Chernobyl.

Yang ditakuti dari sebuah reaktor nuklir yang bocor adalah unsur radioaktif yang dipakai sebagai bahan reaktor. Unsur radioaktif itu membelah sambil mengeluarkan neutron cepat dengan kecepatan ribuan kilometer per detik! Neutron cepat ini dalam tabung reaktor akan meneruskan jalannya reaksi nuklir berantai. Di luar tabung ia akan menabrak apa pun yang ditemuinya, termasuk organisme hidup!

Kontak itu mengakibatkan timbulnya efek biologis radiasi. Ada kontak aman dan ada yang tidak. Efek biologis akan tampak sebagai efek somatik jangka pendek, efek somatik jangka panjang, dan efek genetik. Efek somatik merupakan efek pada tubuh, mencakup semua luka pada sel-sel tubuh organisme, tanaman, maupun binatang. Efek somatik jangka panjang meluas secara berkelanjutan, hingga luka yang ada dilanjutkan pada generasi sel berikutnya. Sedangkan efek somatik jangka pendek bisa mematikan organisme apa pun.

Namun, dosis mematikan berbeda-beda untuk setiap makhluk hidup. Misalnya, manusia bisa langsung tewas kalau terkena radiasi 5.000 rem (radiation equivalen for man), sementara bakteri serta virus masih bisa bertahan sampai 10.000 rem. Kalau manusia menerima 1.000 rem, kematian datang dalam tempo satu hari. Akan tetapi kalau radiasi berkekuatan 400 rem dijatuhkan ke seluruh tubuh selama beberapa hari, ada orang yang meninggal dalam waktu sebulan, ada pula yang sembuh.

Efek yang lebih hebat adalah efek genetik. Karena partikel radiasi sangat kecil, ia mampu menjangkau bagian-bagian terkecil makhluk hidup, sampai ke sel-sel. Termasuk sel yang mengawasi sifat keturunan.

Di Panti Asuhan Blon, Sovyet, terdapat 57 bocah cacat. Ada yang tak bisa melihat karena lensa matanya tumbuh ke dalam. Ada yang tanpa tangan dan kaki. Bahkan ada yang cacat mental. Sebagian mungkin tidak akan bertahan hidup lama. Bayi-bayi itu lahir dari ibu-ibu yang tercemat berat radioaktif, kurang lebih 70 km dari tempat bencana seperti Mogiljow, Choiniki, dan Minsk.

Selain bayi-bayi yang lahir cacat, keluhan datang dari para sukarelawan yang membantu menangani bencana (liquidator). Alexander Sgurski, salah satu dari 600.000 liquidator merasa pusing-pusing, lekas lelah, dan tenggorokan terasa kering setelah beberapa hari bertugas. Sebagian besari dari liquidator menjadi cacat. Ribuan pria muda menderita impotensi, sedangkan ribuan lainnya tengah sekarat.

Nuklir memang bermanfaat dari sisi penyediaan tenaga listrik. Namun ancaman yang mengerikan siap menerpa umat manusia. Kanselir Jerman Angela Merkel mengkaji kembali kebijakan PLTN di negaranya (nhk.or.jp). Begitu juga dengan Swis yang berencana mengganti tiga PLTN-nya.

Bagaimana dengan Indonesia yang berencana membangun PLTN di Muria?