Imajinasi Ruang dan Bentuk

Agus Surono

Editor

Imajinasi Ruang dan Bentuk
Imajinasi Ruang dan Bentuk

Arsitektur adalah permainan bentuk dan ruang dengan sentuhan seni. Tapi manajemen modern meminimalkan sentuhan seni demi efisiensi ruang, yang pada akhirnya jatuh pada persoalan biaya. Maka wajar kalau orang terkagum-kagum pada bangunan-bangunan tua. Pemanfaatan dan permainan imajinatif ruang, begitulah arsitektur!

"Apa itu arsitektur?" Pertanyaan sederhana yang sering diabaikan karena terlalu sulit dijawab. Cobalah menyusuri gedung-gedung megah di kawasan segitiga emas, kemudian beristirahat di kawasan Kota, Jakarta. Terasa banyak kata untuk mengungkapkan pengertian tentang arsitektur. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan arsitektur dalam dua makna: 1) seni dan ilmu merancang serta membuat konstruksi bangunan; 2) metode dan gaya rancangan suatu konstruksi. Dalam pidato peringatan di Acropolis, sosok paradigmatis dari arsitektur modern Le Corbusier merasa kebingungan dalam mendefinisikan kata arsitektur. "Suatu karya yang baik mampu menyentuh hati saya begitu saja, sehingga saya sangat senang, dan berkata, 'Ini sangat cantik. Itulah arsitektur'," ujarnya. Tidak sekadar membangun gedung Arsitektur adalah sebuah gagasan yang besar dan mendalam. Dikatakan demikian sebab arsitektur merefleksikan keputusan-keputusan tentang bagaimana orang seharusnya tinggal, bekerja, dan - bahkan - meninggal. Pada saat yang bersamaan, arsitektur adalah pernyataan kekaguman yang tidak berbatas; kekaguman masing-masing orang terungkap dengan bahasa yang berbeda. Dalam konteks kekaguman, arsitektur tidak hanya menyingkap kebajikannya dengan begitu saja. Inilah yang membedakan arsitektur dengan bangunan. Ucapan provokatif sejarawan terkenal bahwa "sebuah bangsal sepeda adalah sebuah bangunan; sedangkan Katedral Lincoln adalah bagian dari arsitektur" menggambarkan dengan ringkas kepercayaan sakral itu. Di lain pihak, arsitektur juga dianggap memiliki kekuatan hebat. Ia adalah pengejawantahan dari budaya dan bahkan peradaban. Ia mampu menerima dan meneruskan nilai spiritual dan kebenaran yang mendalam. Oleh sebab itu, sebuah karya arsitektur bukanlah sekadar sebuah gedung yang memiliki manfaat. Ia adalah struktur yang telah menjelma menjadi objek-objek monumental dengan keindahan komposisi yang hebat. Maka wajar jika terjadi pertarungan antara mereka yang memandang arsitektur sebagai "Ibu dari Seni" dan mereka yang bersikeras bahwa arsitektur hanyalah persoalan "Fungsi x Ekonomi". Dengan begitu, penilaian estetika dalam konsep arsitektur dipengaruhi oleh banyak faktor. Adanya isu "trend" menambah sulitnya pengkristalan konsep tersebut. Sebagai sekadar produk pemuas konsumen, belakangan ini "kulit" dari bangunan telah dikemas dengan penuh semangat dalam pelbagai gaya yang sedang "in", sehingga kesannya ingar-bingar dan saling bertubrukan. Ledakan pembangunan objek-objek arsitektural yang tampaknya saja hebat, tetapi sebenarnya tanpa arti, juga terjadi. Bangunan dengan "kostum" paling bergayalah yang merenggut minat masyarakat. Penciptanya kemudian memamerkan karya mereka dengan diembel-embeli label seperti post-modernism, neo-classic, high-tech, atau deconstruction. Padahal arsitektur bukanlah sekadar membandingkan lalu menilai bagus atau jelek. Tidak juga sebuah seni rupa yang penuh misteri. Seorang arsitek harus mendamaikan dan menyatukan begitu banyak konflik ke dalam hidup yang juga begitu kompleks dan kaya. Itu sebabnya arsitektur menjadi seni yang paling jauh jangkauannya dibandingkan dengan lainnya. Permainan ruang yang imajinatif Bisa saja orang berpendapat, bukankah yang dimaui orang awam hanyalah hal-hal sederhana, misalnya kota yang enak didiami dan nyaman bagi manusia. Pada kenyataannya, sebagian besar bangunan yang dibuat oleh arsitek memang untuk memenuhi kebutuhan standar macam itu. Selanjutnya kita juga memerlukan tempat untuk merenung, misalnya. Meskipun media ekspresi yang utama bagi seorang arsitek adalah bentuk dan ruang, sebenarnya ruang, atau tepatnya pewadahan suatu ruanglah yang menjadi pengalaman paling penting dalam arsitektur. Acap kali apa yang dapat dialami dengan kuat oleh orang kebanyakan bukan bangunan itu sendiri, tetapi lirisme dari ruang. Tengoklah karya-karya arsitektur besar dunia - dari Pantheon yang elegan di Roma sampai Kapel di Ronchamp, dan dari Pompidou Centre di Paris yang bercorak avant-garde sampai bangunan surealistis Gereja Expiatory Sagrada Familia di Barcelona - semuanya, sungguh mencengangkan. Amat variatif. Monumen-monumen agung itu dalam hal gaya, fungsi, atau kerangka memang tidak memiliki kesamaan. Namun, dalam soal pemanfaatan dan permainan ruang semuanya imajinatif dan berdaya cipta. Bangunan-bangunan itu sepertinya kaya akan manipulasi ruang, sesuatu hal yang selalu dikejar namun jarang dicapai dalam arsitektur. Sulit menjelaskan keriangan yang timbul akibat permainan ruang itu.Philip Johnson menjelaskan tentang Johnson Wax Building karya arsitek Amerika Frank Lloyd Wright di Wisconsin, "Bagiku dan banyak arsitek, itu baru arsitektur. Mampu menciptakan ruang tempat kita merasakan kebesaran agama tanpa harus menyodorkan pernak-pernik tak berguna." Pada tataran yang sama, tak bisa dipungkiri bahwa arsitektur, yang pertama dan utama, adalah suatu karya yang praktis, ketimbang seni murni. Hal terpenting dari arsitektur adalah ia harus melayani suatu tujuan di luar dirinya sendirinya, yang melampaui sekadar masalah ruang dan bentuk. Di masa mendatang, mudah-mudahan bakal menjadi masa depan yang memberikan perhatian besar pada peran sosiobudaya dari arsitektur.Sebab, bukankah arsitektur memiliki kekuatan untuk mengubah, memeriahkan, dan memperkaya masyarakat? Arsitektur harus bisa menuntun ke isu-isu yang lebih mendesak dalam kehidupan sosial, juga isu lingkungan. Memberikan reaksi kreatif terhadap kehidupan, itulah arsitektur. Arsitektur dan kehidupan bagaikan atlet pertunjukan sirkus trapeze, mampu menghibur penonton ketika mereka berhasil saling menangkap, tapi amat memalukan ketika mereka meleset melakukannya.