Ironi Garam di Negeri Bahari

Agus Surono

Editor

Ironi Garam di Negeri Bahari
Ironi Garam di Negeri Bahari

Intisari-Online.com - Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km, terpanjang keempat di dunia. Namun harus mendatangkan garam sebanyak 1,58 juta ton (data tahun 2009). Nilai itu setara Rp 900 miliar.Perdagangan garam yang sepertinya remeh temeh itu dikuasai Cina, Amerika Serikat, Jerman, India, dan Kanada. Tahun 2010 Cina memproduksi 60 juta ton garam atau setara dengan 22 persen produksi garam dunia. Di mana posisi Indonesia? Produksi Indonesia hanya bermain di angka 1 juta ton per tahun.Sudah rendah dalam jumlah, garam buatan Indonesia rendah dalam kualitas. Kadar NaCl-nya paling bagus hanya mentok di angka 80 persen, padahal garam impor kadarnya di atas 97 persen. Salah satu penyebab rendahnya kualitas itu adalah cepatnya petani memanen garam, yakni 3 - 4 hari. Padahal untuk mencapai kadar NaCl setara garam impor harus dikeringkan selama 15 - 20 hari. Faktor lokasi dan alam juga berpengaruh terhadap kualitas garam.Untuk menghasilkan garam kelas satu memang tak mudah. Air laut yang digunakan harus memiliki kadar garam tinggi. Pantainya tidak dekat dengan muara sungai sehingga airnya bisa jernih.Selain itu, pasang surut air laut yang mencapai permukaan daratan tidak lebih dari 2m.Begitu juga dengan pantai atau daratan sebagai ladangpenggaraman utamaharus berada setinggi sekitar3 m di atas permukaan laut, agar air lauttidak merembes ke dalam tanahladang.Iklim juga berperan. Curah hujan di suatu pantai ladang garam maksimal berkisar 1.000 mm sampai1.300mm per tahun. Tingkat kemarau kering berkelanjutan sedikitnyaempat bulan per tahun. Cuacanya juga sebaiknya jarang mendungatau berkabut, sertamemiliki kelembapan yang rendah (terus-menerus panas). Faktanya,curah hujan di Indonesia terlalu tinggi atau berkisar 1.200 - 1.400 mm per tahun dengantingkat kelembapan 60 - 80 persen. Bulan kemarau hanya berlangsung 3 bulan. Waktu yang cukup pendek menunggu garam mengkristal.Mayoritas pembuatan garam di Indonesiamemang masih menggunakan cara tradisional, yaitu proses evaporasiataupenguapan air laut di dalam kolam penampungan. Teknologi ini cukup primitif dalam industri pergaraman. Produksi secara massal sangat terhambat akibatketergantungan terhadap iklim amat tinggi. Metode semacamini juga hanya menghasilkan garamuntuk dapur dan meja makan, bukan untuk keperluan industri.Garam memang bukan untuk konsumsi manusia saja. Industri membutuhkan garam untuk bahan bakupembuatan Chlor Alkali Plant(CAP), misalnya, yang selanjutnyadipakai untukmemproduksi Poly Vynil Chloride(PVC), soda kostik, dan turunan klor yang digunakan untukbahan pemutih (bleaching), industri makanan, kosmetik, dan farmasi. Untuk industri ini, garam yang dibutuhkan harus berkadarNaCl minimum 97 persen. Bahkanuntuk industri kosmetik, farmasi, termasuk cairan infus, dibutuhkan garam dengan kadar NaCl minimum 99 persen.Berkaca ke Australia tempat Indonesia mengimpor garam berkualitas tinggi membuat kita tersadar bahwa panjang garis pantai tak berarti apa-apa. Australia memanen garam tak hanya dari air laut, tapi juga dari danau garam, air tanah asin, danau garam kering (playa) yang berada di daerah gurun. Mereka tinggal mengeruk saja. Selain itu, iklim Australia yang kering membuat garam dapat dipanen hampir setiap waktu.Toh kadar garam yang tinggi bukan tanpa masalah bagi Australia. Ia menjadi ancaman lingkungan terbesar abad ke-21. Soalnya, tanahyang keringdan mengandung garam tinggi membuat tanah tidak subur dan mempengaruhi sumber-sumber makanan. Air yang mengandung garam tinggi juga tidak dapat diminum dantak dapat digunakan untuk tanah pertanian. Hukum keseimbangan berlaku.Lain lagi dengan Cina. Di masa silam, Cina sudah mengenal teknologi menembus perut bumi dengan bambu untukmencari air dengan kadar mineral tinggi yang mengandung garam (brine).Teknologi bambu juga menemukan sumber-sumber gas alam yang digunakan sebagai alat untuk menguapkan air sehingga memproduksi garam.ProvinsiSichuan, salah satu provinsi terkaya di Cina, sejakdulu menjadi inspirasi bagi inovasi-invovasi baru. Dengan sungai YangTze yang mengalir di selatan, serta curah hujan yang cukup membuat tanah di sini cukup subur. Di sini pulateknik pengeboran tradisional ditemukan.Sekitar 2.250 tahun lalu,sumur garam air tanah sudah ada di Sichuan. Teknologi yang dibuat dari bambu itu berhasil menemukan kandungan air tanahberkadar garam lebih dari 50 gperliter. Air itu kemudian diuapkan menggunakan sumber -sumber panasdan menghasilkan garam yang mengendap.Saat ini, bambu-bambu tersebut sudah digantikan oleh besi, dan menjadi industri besar.Sejak 2.000 tahun lalu, paling tidak sudah ada 130 ribu sumur garamyang digali. Sampai sekarang, daerah Sichuan masih menjadi penghasil garam,dengan sumur-sumur garam kuno yang masih berfungsi hingga kini.Butuh usaha lebih bagi Indonesia untuk mengejar produksi garam negara-negara itu. Garis pantai boleh panjang, namun garam ternyata tak hanya dihasilkan dari pantai. (Intisari November 2011)