Intisari-Online.com - Bagi kita rakyat Indonesia yang cinta budaya, tentu tidak asing lagi dengan wayang golek, wayang yang dikenal sebagai kesenian daerah Jawa Barat. Dalam sejarahnya, pertunjukan wayang golek dijadikan sarana untuk menyebarkan agama Islam oleh Sunan Kalijaga, yang dipertunjukkan pada siang hari. Ketika Sunan Kalijaga mengembangkan Islam, ia memanfaatkan wayang sebagai media pengembangan Islam. Ia berpikir bahwa wayang harus dilihat sebagai media dakwah.
Boleh dibilang wayang golek adalah wayang kayu. Perkembangannya dari Jawa Tengah, kemudian ke Cirebon, lalu ke Jawa Barat. Wayang pun banyak macamnya. Misalnya wayang krucil dan wayang cepak di Cirebon. Wayang cepak adalah wayang yang menampilkan sosok raja-raja, sedangkan wayang krucil merupakan wayang yang menampilkan sosok seperti binatang-binatang.
Bagi penggemar wayang golek, bisa jadi tokoh yang sering ditunggu kemunculannya adalah Cepot alias Sastra Jingga, ciptaan pedalang Asep Sunandar Sunarya. Cepot ini diberi warna dasar merah. Ia digambarkan sebagai tokoh yang suka melucu, nakal, tapi bijaksana. Biasanya para dalang menggunakan Cepot untuk menyampaikan pesan kepada penonton, baik berupa kritikan, nasihat, atau pun sindiran, dengan gaya guyononan atau melucu. Asep Sunandar Sunarya, pedalang yang kini berusia 55 tahun, ini sudah melanglang buana hingga ke mancanegara untuk memperkenalkan wayang golek. Sudah 38 tahun ia menekuni dunia perwayangan.
Bisa jadi, dalang disebut sebagai sutradara, pemain, pelawak, pendawa, penerang, juga sebagai guru. Eitss, mungkin ada di antara kita yang menyamakan istilah ngewayang dan ngedalang. Padahal, keduanya punya arti yang berbeda. Ngewayang itu hanya menjalankan cerita, berbeda dengan ngedalang yang membawa visi misi tertentu. Pada umumnya, ngedalang itu bercerita tentang negara. Misalnya, negara Amarta atau negara Astina. Nah, dalam negara tentu ada politik, ekonomi, budaya. Nilai-nilai itulah yang hendak disampaikan oleh seorang dalang.
Selama ini wayang identik dengan pertunjukkan untuk orangtua. Wayang yang kita kenal seringnya dimulai pada malam hari dan baru selesai pada keesokan paginya. Inilah yang mungkin perlu disesuaikan agar anak-anak muda juga dapat menikmati kesenian tradisional tersebut.
Atas nama kekayaan budaya Indonesia-lah, wayang ini perlu dilestarikan, tak hanya wayang golek! Juga, pembinaan dan regenerasi para dalang. Sampai sekarang, sebenarnya regenerasi masih berjalan. Namun, untuk menjadi dalang yang eksismembutuhkan waktu yang tak sebentar. Artinya, dalang pun harus menanamkan keyakinan pada masyarakat bahwa dia bisa menampilkan sesuatu yang berkualitas. Tak dapat dipungkiri, menjadi dalang itu tak mudah. Dalang harus memiliki kemampuan teater yang tinggi, kemampuan menyanyi yang bagus, juga diiringi latihan vokal yang luar biasa. Artinya, menjadi dalang haruslah mendapat pelatihan yang matang agar kreativitasnya bisa lebih kuat.
Seiring berkembangnya zaman, wayang golek sebagai kesenian tradisional dan kesenian wayang adiluhung yang mengandung banyak filosofi, dirasa kurang digaungkan. Padahal, seni tradisional itu adalah budaya lokal yang merupakan akar budaya nasional. Martabat suatu bangsa dapat diukur dari budayanya. Jika budayanya rusak, maka rusak pula bangsanya. Ingat, budaya itu ada hubungannya dengan peradaban suatu bangsa.
Mengembangkan budaya bukanlah tugas individu tertentu, melainkan tugas rakyat Indonesia sebagai empunya budaya. Setelah berangkat dari nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat, perlu pula kreasi-kreasi yang sesuai dengan perkembangan zaman. Jadi, bukan hal yang mustahil adanya perpaduan dangdut dengan wayang golek kelak.
Bila wayang ini tidak kita pelihara dan lestarikan, bukan tidak mungkin kelak wayang akan menjadi barang langka. Contohnya, keberadaan wayang golek nyatanya hanya bertahan di kalangan penggemarnya saja atau hanya orang-orang tertentu. Kebanyakan anak muda tampak kurang meminati kesenian wayang golek. Selain itu, kurangnya usaha pelestarian dan menggaungkan kesenian tersebut kepada generasi muda juga menjadi salah satu sebabnya. Pengenalan wayang ini sudah seharusnya dilakukan di usia dini, termasuk di lingkungan sekolah-sekolah. Sudah seharusnya pula, sebagai generasi penerus bangsa, kita menghormati dan ikut melestarikan kesenian tradisional.
Ingat, martabat suatu bangsa dapat diukur dari budayanya!