Intisari-Online.com - Kenal tokoh Oom Pasikom? Si Oom yang satu ini selalu tampil bertopi. Ia juga berjas-dasi. Di bawah leher tergantung lembaran kain kecil, lambang status yang dipertahankannya secara fanatik. Muncul pertama kali pada Oktober 1969 di Harian Kompas, si Oom lahir dari kartunis G.M. Sudarta. Majalah Berita Mingguan Tempo pun selalu menyajikan kartun karya Priyanto S. dalam setiap penerbitannya. Kartun Pris, nama yang selalu ia cantumkan dalam karyanya, tampil menggelitik dan penuh sindiran.
Oom Pasikom dan kartun karya Pris pun hadir mewakili tingkah polah komunitas masyarakat sekelilingnya. Ini pas dengan pemahaman arti kata kartun, sebagai sebuah gambar atau serangkaian gambar yang memuat cerita atau pesan dalam wujud sindiran atau humor, tulis The World Book Encyclopedia, 1992.
Sementara pengertian kartun seperti yang sekarang kita pegang dicanangkan pada 1843 di Inggris. Ketika itu ajang kompetisi dan pameran kartun besar-besaran digelar di masa kekuasaan Ratu Victoria dan Pangeran Albert. Objeknya, dinding House of Parliament. Kata "kartun" sebenarnya berasal dari bahasa Italia, cartone, yang berarti kertas. Pada masa itu para seniman negara ini memang getol membuat sketsa untuk gambar gedung, permadani, atau gambar mozaik pada kaca.
Para kartunis umumnya menggambar lima hal: editorial, politik, komik, majalah, ilustrasi, dan animasi. Banyak kartunis editorial menggunakan bentuk karikatur untuk menampilkan kelucuan orang-orang terkenal. Komik atau bentuk kartun lainnya, kebanyakan merupakan kombinasi antara kata dan gambar, tetapi banyak juga yang hanya menggunakan gambar. Penonjolan bagian tertentu biasa dibikin untuk menguatkan karakter gambar. Kepala yang sebenarnya cuma seperdelapan badan, dalam kartun bisa muncul menjadi sepertiga atau setengahnya. Dengan memperbesar ukuran badan seperti kepala, kartunis leluasa memasukkan ekspresi wajah. Senyuman, ejekan, atau kerdipan kelopak mata menjadi lebih berarti, tulis Encyclopedia Americana, 1976.
Jauh ke masa silam, gambar karikatur sudah ditemukan di dinding-dinding dan jambangan bunga pada zaman Mesir kuno dan Yunani kuno. Bahkan seniman Prancis, Honore Daumier (1830-1870), dari zaman pertengahan, dikenal sebagai bapak kartun modern. Ia mengkarikaturkan para pemimpin Prancis untuk koran dan majalah di negaranya. Daumier bahkan sempat dijebloskan ke hotel prodeo tahun 1832 gara-gara mengkarikaturkan Raja Louis Philippe.
Salah satu kartunis koran politik terkemuka dari tahun 1900 adalah Sir David low asal Selandia Baru. Ia memulai kariernya pada 1914 dan pindah ke London pada 1919. Iow memunculkan karakter pada diri "Colonel Blimp", sosok militer tua yang reaksioner. Sementara pada kurun waktu 1930-1940, buku-buku komik sangat populer. Begitu pula sesudah PD II (1935-1945) komik-komik humor kembali populer.
Di Indonesia, menurut buku Komik Indonesia karangan Marcel Bonneff, Komik Timur muncul berkat surat kabar besar Sin Po. Tahun 1930, surat kabar itu setiap minggu memuat komik strip yang menceritakan berbagai petualangan tokoh jenaka, karya komikus muda Kho Wang Gie. Awal 1931, tokoh gendut Put On untuk pertama kalinya muncul dan segera akrab dengan pembaca. Put On digambarkan sebagai si gendut yang baik hati, tetapi bodoh, yang sok pintar, namun selalu gagal.
Kemunculan kartun di harian atau mingguan tentu tak terbayangkan pada masa dulu. Pada masa awal perkembangannya, kartunis koran atau majalah harus langsung menggambar di atas blok-blok katu (bisa dipakai berulang-ulang untuk membikin kopi). Setelah gambarnya pasti, bisa dengan pensil atau pena, pengukir lantas mengukirnya sesuai garis coretan. Proses ini membutuhkan waktu paling tidak 24 jam.
Sejalan dengan berkembangnya proses cetak dan separasi warna, kini para kartunis sebenarnya punya peluang mengeksplorasi gambar yang lebih "berwarna". Tetapi rupanya mereka percaya nuansa hitam putih masih jauh lebih menggelitik. Anda percaya? (Intisari)