Intisari-Online.com - Nama kerennya monosodium glutamate atau disingkat MSG, sedangkan nama jamaknya bisa bumbu masak, vetsin, atau moto. Tak jarang pembeli menyebut salah satu merek moto, namun tak menolak meski yang diterima moto merek lain. Dari pengalaman, benda halus serupa butir kristal itu bisa selalu ditemukan dalam masakan Cina atau India. Alhasil, lahir pemeo, ada masakan Cina ada MSG.
Tapi dari mana asal MSG? Konon glutamat telah digunakan pada masakan bangsa Timur sejak lebih dari 2.000 tahun yang lalu. Menurut pengamatan para juru masak Jepang zaman dulu, kaldu sop terasa lebih enak bila dicampuri Laminaria japonica, sejenis rumput laut. Tentu saja enak, karena batang rumput laut itu mengandung sejumlah besar glutamat alamiah.
Hubungan antara rumput, MSG, dan rasa enak itu ditemukan oleh Profesor Kikunae Ikeda dari University of Tokyo. Tahun 1908 ia berhasil menguraikan dan memisahkan komponen khusus dalam Laminaria japonica yang meningkatkan kualitas rasa itu. Bila ilmuwan Barat percaya hanya ada empat rasa dasar, yaitu manis, asam, asin, dan pahit, maka menurut Ikeda, masyarakat Jepang memiliki satu unsur rasa lain yaitu umami atau sedap.
Melihat potensi glutamat tersebut, sebuah perusahaan Jepang segera menyambar kesempatan untuk mengembangkan MSG secara komersial. MSG yang sesungguhnya berbentuk konsentrat sodium itu, biasanya oleh bangsa Timur diekstrakkan dari rumput laut, sedangkan bangsa Barat mengambilnya selain dari rumput laut, juga bit, dan biji-bijian, seperti kacang dan kedelai.
Kini, tak kurang dari 200.000 ton MSG dikonsumsi orang di seluruh bagian belahan bumi per tahun. Karena masyarakat Jepang dan Cina tercatat paling doyan MSG di dunia, sindrom alergi serius karena zat kimia tersebut dijuluki sindrom Restoran Cina. Akibatnya, tak sedikit kelompok masyarakat, terutama masyarakat Amerika, menyebutnya berbahaya.
Sanggahan bahwa MSG aman dikonsumsi diajukan oleh Asosiasi Glutamat di Jepang. Menurut mereka, MSG tidak berbeda dengan glutamat yang dikeluarkan tubuh manusia saat memakan bahan yang mengandung protein. Biasanya pun, persentase MSG pada makanan sangat kecil dibandingkan dengan glutamat yang terkandung secara alamiah pada hampir semua bahan makanan. Misalnya, untuk 0,5 kg daging umumnya bisa ditaburkan setengah sendok teh MSG. Artinya, dalam satu porsi hidangan daging ayam MSG-nya hanya kurang dari 10% glutamat yang memang terkandung secara alamiah pada ayam itu.
Meski menurut Food and Drug Administration (FDA) dari AS, MSG dikategorikan "secara umum dipandang aman", masyarakat negara Paman Sam tetap saja ngeri pada MSG. Di balik pro-kontra tentang aman-tidaknya MSG, mengapa MSG masih digunakan pada masakan, terutama di restoran?
Konon MSG mampu memadukan semua rasa dengan baik, terutama berbagai rasa rempah. Itulah mungkin sebabnya, koki India - yang senang menggunakan rempah - cenderung menggunakan cukup banyak MSG. MSG juga dinilai bisa melembutkan rasa yang sangat tajam pada beberapa bahan makanan, seperti mengurangi rasa asam tomat, rasa pedas bawang bombay, atau menghilangkan aroma tanah pada kentang.
Mungkin rasa percaya akan "kesaktian" MSG pula yang tertanam dalam pikiran masyarakat Indonesia. Di antaranya, untuk membuat masakan lebih "legit", para penjaja makanan dengan enteng menuangkan MSG tanpa sendok takaran. Sampai akhirnya, menurut penelitian salah satu produsen besar MSG di Indonesia, tingkat konsumsi MSG di Indonesia, adalah ± 409 g/kapita per tahun. Tak heran, kalau perusahaan tersebut mengklaim tingkat penjualannya mencapai 17.265 metrik ton pada tahun 1995.
Terhadap fungsi meningkatkan kualitas rasa, juru masak anti-MSG dengan lantang berteriak, MSG justru "mematikan" rasa masakan dan sering digunakan untuk menutupi produk yang kurang baik. Kritik lain menyebutkan, MSG menyeragamkan semua rasa masakan, untuk itu istilah kemampuan MSG perlu diluruskan, bukannya menyelaraskan melainkan "mencampuradukkan" rasa. (Intisari)