Intisari-Online.com - Selama ini kita mengenal kancil sebagai sosok antagonis dalam sarana mendidik anak-anak. Kancil mendapatkan stigma sebagai sosok yang tak patut dicontoh, nakal, licik, dan cerdik. Stigma ini terbentuk melalui dongeng hingga lagu yang telah mendarah daging dalam masyarakat kita seperti Kancil Mencuri Timun atau Kancil Anak Nakal.
Namun, ternyata tak semua yang dilakukan kancil merupakan kesalahanya. Adalah sosok Ki Ledjar Subroto, Sang Maestro Wayang Kancil yang menceritakan bahwa pandangan akan kancil yang nakal seperti dalam dongeng dan lagu adalah tidak benar. Dalang yang mengembangkan wayang kancil sejak era 80-an ini mengungkapkan bahwa cerita kancil yang diturunkan menjadi dongeng oleh masyarakat barulah awal perjalanan hidup kancil ketika masih kanak-kanak. Sikap kancil berubah menjadi dewasa ketika dalam dongeng diceritakan ia kalah berlomba lari dengan siput. Dari sinilah kancil baru menyadari bahwa suatu kerja tak semuanya akan berhasil tanpa kerjasama.
Ki Ledjar Subroto juga memegang prinsip bahwa sesuatu selalu ada hubungan sebab-akibat yang melatarbelakangi suatu peristiwa. “Kancil itu merupakan perwakilan dari isi hutan, ada alasan mengapa kancil nyolong timun milik Pak Tani. Itu karena hutan mereka dirusak. Oleh siapa? Manusia itu sendiri,” tegas Ki Ledjar. Itulah mengapa kancil mencuri timun Pak Tani, karena sudah tak ada lagi sumber makanan di hutan.
Apa yang diungkapkan oleh Ki Ledjar bukan tanpa dasar. Menurutnya, dongeng kancil bukan sembarang cerita, karena ditulis oleh pujangga-pujangga. Sama seperti Serat Centhini atau Jangka Jayabaya yang sudah lazim dikenal masyarakat. “Wayang Kancil itu yang menulis pujangga lewat buku serat kancil, saya sampai sudah fotocopy dari Belanda yang pakai tulisan jawa, namanya Among Sastro, ini dikoleksi di Belanda”, ujar Ki Ledjar sembari menunjukkan buku berisi naskah aksara jawa. Cerita Kancil yang diangkat menjadi wayang pun ada pakemnya, masih memakai tembang mocopat. Salah satunya Serat Kancil Tanpo Sekar, yang ditulis oleh Ki Padmo Susapto Ngabehi Ing Surakarta. Sehingga, cerita kancil tak melulu hanya "Kancil Mencuri Timun" yang selama ini dikenal masyarakat Indonesia.
Cerita dongeng kancil sendiri pada zaman lalu dikembangkan bersama dengan pementasan wayang untuk berbagai macam tujuan seperti penyebaran agama Islam oleh Walisongo, menyindir kebijakan pemerintah Belanda, pelestarian lingkungan hingga penyelesaian konflik perang. “Semua itu disampaikan melalui tokoh kancil dalam berbagai lakon sesuai pakem yang ada," kata Ki Ledjar.
Melalui kancil yang diangkat dalam pewayangan inilah Ki Ledjar ingin mengenalkan bahwa sosok kancil tak selalu negatif. Misalkan saja perihal kecerdikan kancil, dalam dongeng "Kancil dan Buaya". Kancil menjelma sebagai sosok yang cerdik dan penuh dengan muslihat. Bila kita melihat kondisi saat ini, justru hendaknya kita meniru apa yang dilakukan kancil. Dalam menyelesaikan masalah tak perlu menggunakan fisik, melainkan menggunakan kecerdikan akal. Karena jika menggunakan fisik, hasilnya seperti saat ini yang penuh pertikaian, kerusuhan dan pertumpahan darah.
“Oleh karena itu kita harus belajar dari Kancil, tidak dengan okol (kekuatan fisik), tapi dengan akal, karena kalau pakai okol justru menambah masalah,” pungkas Ki Ledjar.
Lantas, apakah si kancil masih nakal?