Intisari-Online.com - Kalau perkawinan diartikan sebagai suatu karier, maka kunci kelanggengan hubungan antara suami-istri terletak pada kesanggupan untuk saling mengungkapkan dan mendengarkan. Mengungkapkan dan mendengarkan itu termasuk - tentunya - persoalan dalam perkawinan. Tak ada relasi yang damai seumur hidup sehingga dalam perkawinan pasti muncul konflik. Dalam film atau dongeng sekalipun. Yang satu jengkel karena tidak setuju dengan cara mendidik anak. Yang lain jengkel karena boros membelanjakan uang.
Makanya konflik sehari-hari harus dipecahkan. Kalau diam saja kejengkelan bisa merusak mental. Orang bisa jatuh sakit. Problem besar harus dibicarakan dengan pasangan dan menghindari pertengkaran terus-menerus tentang hal sepele. Jangan membuat soal kecil menjadi drama, sehingga hubungan akan menjadi keruh.
Bukan hanya persoalan yang perlu dipecahkan dan dibicarakan, tapi juga rasa senang dan sedih pun perlu dibagi rata. Menurut para psikolog, rasa senang tidak akan berkurang kalau diceritakan pada orang lain. Sebaliknya,kita dapat mengurangi kesusahan dengan mencurahkannya pada orang lain.
Ada kalanya mendengarkan perasaan yang diungkapkan pasangan lain bisa menggugah perasaan kita, sehingga kita dapat menerima perasaan yang kebetulan hampir sama.
Bisa jadi bentuk komunikasi itu malahan berupa pertengkaran. Mengapa tidak? Berani berkonfrontasi terhadap pasangan bukan hal yang tabu, asal dituntaskan dan persoalannya tidak dibawa-bawa sampai esok hari. Namun kalau suasana malah makin memanas, sebaiknya berhenti dulu. Menunggu sampai emosi kedua pihak agak reda. Lalu masing-masing mengadakan gencatan pertengkaran, merefleksi diri, serta mencari sebab-sebabnya. Tak kalah penting adalah berani bertanggung jawab dan berani meminta maaf. Dengan begitu kita bisa mengambil langkah jernih ke depan, tanpa harus mengikutsertakan pihak ketiga sebagai wasit.
Tidak hanya seks, tapi perhatian
Di Amerika Serikat, Dr. Bonnie Eaker Weil memberikan langkah-langkah melanggengkan hubungan perkawinan. "Menciptakan dan memelihara keintiman itu membutuhkan 'keterampilan' tersendiri. Bukan hanya naluri," kata ahli terapi keluarga dari Manhattan, New York, itu.
Nasihat-nasihat itu diberikan oleh Dr. Weil kepada para peserta kursus dengan nama keterampilan praktis membina keakraban. Di situ para peserta diajarkan mengungkapkan perasaan, keinginan, harapan, impian, ketakutan dan ketidaksukaan, termasuk keluhan yang sepele. Misalnya saja para pasangan itu belajar bagaimana mengatakan, "Saya tidak suka kami meninggalkan piring kotor di kamar tidur," tanpa nada menyalahkan, sekaligus sambil memberi saran, seperti, 'Tolong letakkan piring bekas di bak cuci dapur." Sebaliknya, jika ia mengatakan, "Dasar kamu jorok", pasangannya akan merasa dihina, dan cenderung membela diri.
Kursus ini juga mengajarkan berbagai latihan. Di antaranya latihan peregangan yang mengajak peserta untuk memenuhi kemauan pasangannya, apa pun bentuknya dan walaupun ia tidak menyukainya. Ada pula latihan "teka-teki", yang melatih para pasangan dalam menjernihkan persoalan. Persoalan ini bisa cuma pesan tertentu di film, menyangkut sikap, atau pernyataan.
Sedangkan latihan "sadar diri" melacak latar belakang sejarah emosi keluarga dan sejarah perjalanan emosi seseorang dengan metode genogram. Di sini dapat diungkapkan tingkah laku yang merusak dan harapan-harapan di balik pasangan yang bersangkutan. Seperti kecenderungan memilih pasangan yang mirip dengan ayah, kakek-nenek, meskipun bisa berakibat merusak diri.
Kesadaran pada pasangan mengajarkan pasangan untuk melihat perbedaan di antara mereka dan bagaimana memanfaatkannya.cLatihan keintiman menunjukkan bahwa pasangan tidak hanya membutuhkan seks, tetapi juga perhatian. "Saya minta semua klien saya untuk berpelukan selama sepuluh menit pada pagi dan malam hari," kata Eaker Weil.
Cara ini juga digunakan sebagai langkah pendahuluan sebelum hubungan badan. Jika perasaan tergugah, maka pengekspresiannya akan mudah saja.
Program Eaker Weil ini juga berlaku bagi calon orangtua. Kita harus mengetahui masalah pada masa kanak-kanak kita, yang masih berpengaruh pada diri kita sampai saat ini.
Eaker Weil yakin, satu teknik terpenting adalah "penjadwalan semua hal", mulai dari memadu kasih, argumentasi, berbicara, berpelukan, mengungkapkan impian. Bila timbul adu pendapat, sampai salah satu pasangan tidak bisa menyelesaikannya, ia bisa mengatakan, "Nanti saja kita bicarakan lagi." Dengan cara penjadwalan, kemarahan bisa diredam karena emosi sudah menurun.
"Banyak orang bilang, apa ada orang yang menjadwalkan hubungan seks?" 'Kan tidak spontan lagi! Tetapi jika Anda menunggu waktu yang tepat, hubungan akan langgeng.
Pertentangan nyatanya tak bisa dilepaskan begitu saja bagi orangtua atau siapa saja yang masuk ke gerbang pintu perkawinan. Nah, tujuan utama konsultasi pencegahan, meredam pertentangan menjadi sekecil mungkin. (Kumpulan Artikel Psikologi 1)