Intisari-Online.com - Observatorium Bosscha merupakan salah satu bangunan cagar budaya yang menjadi ikon kota Bandung. Didirikan tahun 1923, Bosscha bukan hanya yang tertua di Indonesia, tetapi juga satu-satunya obervatorium besar di Indonesia, bahkan mungkin di kawasan Khatulistiwa. Lokasinya berada di Lembang, sekitar 15 km di bagian utara kota Bandung. Pendirian observatorium diprakarsai oleh Joan George Erardus Gijsbertus Voute, insinyur-astronom kelahiran Madiun. Namun pembiayaannya disokong oleh pengusaha perkebunan di Hindia Belanda, Karl Albert Rudolf Bosscha. Karena itulah, untuk menghargai jasanya pusat peneropongan benda-benda langit ini dinamai Observatorium Bosscha.
Kini, keberadaannya menjadi simbol kebanggaan Indonesia di bidang astronomi. Bosscha tidak hanya menjadi tempat penelitian dan pengembangan ilmu astronomi. Tetapi sebagai benda cagar budaya, Bosscha juga menjadi tempat wisata dan memberi fasilitas teropong untuk melihat objek-objek langit. Dari sini masyarakat diperkenalkan pada keindahan sekaligus hamparan ilmiah alam raya. Dengan begitu masyarakat pun dapat mengenal dan menghargai sains.
Hanya saja, saat ini kondisi Observatorium Bosscha bisa dibilang “tidak sedang baik-baik saja”. Ini kondisi di sekitarnya mengganggu pengamatan sehingga Bosscha tak bisa bekerja secara optimal. Perkembangan pemukiman di kawasan Bandung Utara yang tak terkendali menjadi pemicunya. Banyak area hijau yang rimbun kini di daerah itu yang kini lenyap, berganti vila, perumahan, atau daerah pertanian yang bersifat komersial besar-besaran.
Akibatnya, banyak intensitas cahaya dari kawasan pemukiman menyebabkan penelitian atau kegiatan peneropongan terganggu. Kita tahu, alat teropong Zeiss di Obervatorium Bosscha hanya bisa bekerja optimal dengan intensitas cahaya lingkungan yang minimal.
Menurut Evan Irawan, staf Observatorium Bosscha, semua observatorium di dunia ini punya nasib yang sama. Di negara lain bahkan banyak observatorium yang harus memindahkan teropongnya. “Kami di sini tak mau memindahkan teropongnya kemana pun. Solusi yang muncul adalah mengupayakan untuk mengontrol cahaya lampu,” kata Evan. Biar sama-sama enak: lampu tetap ada, tapi langit terhindar dari polusi cahaya. Caranya, menggunakan tudung lampu. “Jadi Bandung tetap terang, Observatorium tetap bisa beroperasi” kata Evan.
Toh nyatanya saat ini teropong di Observatorium Bosscha hanya bisa melihat benda-benda langit yang tinggi saja. Untuk yang letaknya di bawah 30 derajat arah selatan sudah tidak bisa dilihat lagi. Padahal dahulu yang berada di bawah 20 derajat saja bisa diamati. Pengaruh polusi akibat intensitas cahaya yang besar itu terjadi secara perlahan. “Tahu-tahu kita mendapati pengaruh polusi cahaya ini semakin parah,” aku Evan.
Jika pihak berwenang tak segera mengambil langkah-langkah nyata nan tegas, tentu bakal bumerang akibatnya. Situs yang sudah ditetapkan sebagai Objek Vital Nasional yang harus diamankan ini makin terancam statusnya. Ironis memang.