Bisakah Kecerdasan Diwariskan?

Agus Surono

Editor

Bisakah Kecerdasan Diwariskan?
Bisakah Kecerdasan Diwariskan?

Intisari-Online.com - Apakah genetika ada kaitannya dengan pewarisan sifat? Bisakah kecerdasan diturunkan? Inilah yang menjadi pertanyaan sosiolog dan peneliti otak di Jerman. Mereka lalu mencari tahu kaitan antara pengalaman diskriminasi dan kecerdasan.

Andreas Heinz dari Rumah Sakit Universitas Kedokteran Charite Berlin menyatakan, genetika memang memainkan peran besar dalam perkembangan kecerdasan. Namun, berbagai penelitian kini juga membuktikan pengaruh "luar biasa" lingkungan terhadap kemampuan kecerdasan masing-masing individu.

Hasil tes kecerdasan manusia dengan latar belakang dan kondisi sosial berbeda, ternyata juga tergantung dari pengaruh masyarakat sekitarnya. Penelitian dari Amerika Serikat menunjukkan, di tahun 70-an anak-anak berkulit hitam yang diadopsi keluarga berkulit putih memiliki nilai IQ yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak berkulit putih dan hitam lainnya.

Menurut sensus 2011, di Jerman sekitar 62 persen warga yang tidak tamat sekolah, memiliki latar belakang migran. Peneliti pendidikan Coskun Canan dari Universitas Humboldt di Berlin menyebutkan, banyak yang kemudian menggap kesalahannya terletak pada "keistimewaan" etnis dan budaya, khususnya warga migran keturunan Turki dan penganut agama Islam. Hanya sedikit laporan yang mengangkat keberhasilan migran di bidang pendidikan.

Perempuan motor pendidikan

Jika data warga Jerman keturunan Turki diteliti lebih jauh, akan terlihat bahwa generasi lama kebanyakan tidak tamat sekolah. Generasi baru memang tidak memiliki prestasi yang lebih baik dibandingkan dengan pelajar tanpa latar belakang migran, namun lebih berprestasi dibandingkan generasi orangtuanya.

Sekitar 30 persen dari perempuan muda di Jerman yang lebih berprestasi di dunia pendidikan menamatkan sekolah dan trennya terus meningkat. "Perempuan dengan latar belakang migran adalah motor bagi seluruh kelompok tersebut," kata Coskun Canan. Kenyataan ini melecut para prianya untuk melakukan hal yang sama. Soalnya, biasanya kaum kaum pria harus bisa menyamai tingkat pendidikan perempuan, jika mereka ingin menikah di kelompok etnis yang sama.

Coskun Canan memperingatkan adanya "praduga" negatif. Anggapan seperti "keturunan Turki menolak integrasi" bisa mempengaruhi individu yang dibicarakan. Ia kemudian akan menyesuaikan diri seperti anggapan tersebut. Pakar sosiologi menyebutnya sebagai efek "stereotype threat" - ancaman tipe khas.

Jika misalnya seorang guru memperlakukan murid keturunan Turki secara diskriminatif dibanding murid Jerman asli, maka ia menghambat kemungkinan murid bersangkutan untuk berkembang. "Misalnya nilai murid itu bisa 'bagus' atau 'cukup'. Maka guru biasanya hanya memberikan nilai 'cukup," jelas Canan. Guru tersebut memiliki jalan pikir, bahwa anak itu tidak akan berhasil melanjutkan pendidikan ke sekolah yang berkualitas. Tipe khas ini kerap direproduksi dan dengan itu potensi murid dihambat.

Stres sosial ubah otak

Pengalaman diskriminasi semacam ini kemungkinan langsung tersimpan di otak dan bisa mempengaruhi kemampuan kognitif, tambah Andreas Heinz. Percobaan dengan hewan menunjukkan, isolasi menyebabkan stres dan meninggalkan jejak di otak.

"Dalam percobaan dengan hewan hal ini bisa diukur secara tepat," kata Heinz. Jika hewan yang agresif mendesak hewan percobaan di kandang, sistem hormonal akan memproduksi hormon stres seperti serotonin. Hormon ini dikaitkan dengan depresi. Hormon dopamin yang berhubungan dengan kemampuan belajar juga mengalami perubahan besar. Disebutkan perubahan bisa terjadi di otak dan bahkan bisa diwariskan ke keturunan berikutnya.

Heinz dan timnya kini tengah meneliti apakah mekanisme senada juga terjadi di otak manusia. Ia ingin mencari tahu, apakah stres sosial juga menyebabkan reaksi biokimia tertentu pada manusia.

Apakah gen yang penting bagi kecerdasan akan menjadi aktif atau malah diblokir? Apakah isolasi atau diskriminasi bertanggung jawab atas ketidakmampuan seseorang berkembang? Bisakah reaksi atas stres diwariskan? Heinz menganggapnya sebagai hal yang mungkin.

Satu hal yang sudah jelas: Pembatasan sosial melalui prasangka negatif berdampak buruk bagi manusia. Karena itu semua yang bisa membantu perkembangan kecerdasan harus didukung. Mulai dari kemampuan bahasa hingga makanan yang sehat. (dw.de)