RBT, Bulan Madu yang Singkat

Rusman Nurjaman

Editor

RBT, Bulan Madu yang Singkat
RBT, Bulan Madu yang Singkat

Intisari-Online.com - Kehadiran teknologi digital dan internet tak hanya memudahkan orang untuk mengunduh musik secara ilegal. Tapi memberi ruang bagi para pelaku industri musik untuk berinovasi. Muncullah format baru seperti ringtone, ringback tone, atau digital full track download.

Dari ketiga format itu, ring back tone (RBT)-lah yang lebih diterima masyarakat secara luas. Widhi Asmoro, pengamat industri musik, menyatakan bahwa kemunculan RBT sejak tahun 2004 mendongkrak kembali penghasilan dari jualan produk fisik. Buktinya, pendapatan Universal Music Indonesia dari RBT bisa mencapai Rp800 miliar per tahun.

Hanya saja, masa bulan madu industri musik Indonesia dengan RBT ini berlangsung singkat saja. Di tahun 2010 terbit keputusan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia dengan Surat Edaran BRTI No.177/BRTI/X/2011 tertanggal 18 Oktober 2011 untuk menata ulang server-server RBT dan kembali di titik 0. Dikeluarkannya beleid ini dipicu adanya RBT yang tidak bisa di-unreg sehingga menyedot pulsa konsumen. Akibatnya, dalam beberapa bulan saja pendapatan dari RBT merosot tajam hingga 95%.

Sementara itu efek negatif dari pembajakan semakin memperparah keadaan. Sejak era fisik, pembajakan sudah menjadi momok dan di era digital pembajakan seakan menjadi kanker yang semakin mengganas, kata Widi dalam blog Music Enthusiast.

Beberapa kalangan juga bingung dengan keberadaan RBT. Pasalnya, hanya dinikmati dengan durasi paling lama 30 menit saja. “Orang rekaman berhari-hari dan jadi lagu dengan durasi 3-5 menit. Tapi yang dinikmati yang sekian menit itu,” timpal Arie.

Munculnya pro dan kontra tentang produk format RBT ini, bagi Arie, sesuatu yang wajar. Namun pihaknya, menurut dia, tidak ikut bertanggung jawab. Sebab, selama ini pihak label hanya menyediakan content-nya saja. Soal sistem pelayanan, perusahaan penyedialah yang mengurusi.

Kini, orang yang memakai RBT memang masih ada, tapi cenderung terus menurun jumlahnya. Para pelaku industri rekaman pun tak lagi mengharapkan pemasukan utamanya via penjualan RBT. Maka, cukuplah dikatakan di sini bahwa pada suatu masa RBT pernah mewarnai dinamika insdustri musik Indonesia. Inovasi bisnis lain masih harus dicari dan diperjuangkan orang-orang yang berkecimpung di bidang industri rekaman agar bisa bertahan.