Intisari-Online.com - Model pembangunan yang bias kota membuat urbanisasi kian tak terbendung. Orang-orang terus berdatangan ke kota mengadu nasib. Ke depannya, diprediksikan lebih dari separuh warga bumi tinggal di kota. Persoalannya, sejauh mana faktor demografi (jumlah penduduk) mempengaruhi tingkat layak huni (kenyamanan) sebuah kota? Adakah batasan idealnya?
Arsitek Abidin Kusno mengatakan bahwa batasan ideal jumlah penduduk sebuah kota itu tidak pernah ada. Tapi, menurut dia, faktor demografi memang mempengaruhi kelayakan huni dari sebuah kota. “Tapi sebelumnya perlu diingatkan lagi bahwa sebuah kota itu harus selalu terbuka untuk pendatang, baik yang kuat maupun yang lemah” kata arsitek yang kini bekerja sebagai Associate Professor Canada Research Chair in Asian Urbanism and Culture di University of British Columbia, Kanada ini.
Demografi yang tinggi memang akan menambah beban kota bila kota itu tidak siap menampung. Tapi bila kota itu siap menampung, demografi yang tinggi malah memberi kekuatan pada sebuah kota. Hanya saja, kata Abidin, tantangannya adalah bagaimana kota dengan demografi tinggi bisa layak huni tanpa mengambil terlalu banyak sumber daya lingkungan.
“Saya memikirkan analogi perubahan komputer desktop dulu yang besar dan berat menjadi laptop yang ringan tapi berkapasitas tinggi. Sebuah kota itu mungkin perlu memikirkan bagaimana menjadi laptop yang berkapasitas tinggi dan padat dan sekaligus mengurangi dampak lingkungan” papar Abidin ketika dihubungi lewat surat elektronik. Disamping itu, jelas “laptop” itu tidak hanya satu tapi beberapa supaya beban terbagi.
Selain itu, harus ada pembangunan kota yang layak huni di kota-kota yang lain supaya beban sebuah kota seperti Jakarta dapat di kurangi atau dibagi. Kebijakan desentralisasi bisa diharapkan untuk mengurangi beban kota Jakarta. Di sini, perlu didorong agar kota-kota yang lain bisa menyaingi kota Jakarta. “Tapi bukan dari segi akumulasi kapital, melainkan dari kelayakan huni dan kesejahteraan penduduk,” pungkas Abidin.