Babysitter Bukan Pengganti Ibu

K. Tatik Wardayati

Editor

Babysitter Bukan Pengganti Ibu
Babysitter Bukan Pengganti Ibu

Dewasa ini, banyak kaum ibu tidak cuma berdiam diri di rumah mengurus rumah tangga. Perkembangan zaman dan tuntutan ekonomi membuat mereka harus meninggalkan rumah untuk bekerja. Tak sedikit pula dari mereka tergolong ibu muda dengan anak balita.

Mereka lalu mempercayakan pengasuhan balitanya pada pramusiwi (babysitter). Celakanya, entah karena keterbatasan waktu atau menganggap pramusiwi sudah mendapat pengetahuan memadai soal pengasuhan balita, sang ibu menyerahkan pengasuhan anak hampir sepenuhnya, termasuk soal makanan. Padahal, tanpa pengarahan yang baik dari orang tua, makanan yang diberikan pramusiwi belum tentu bisa memenuhi kebutuhan gizi si balita. Bukankah faktor gizi menjadi teramat penting dalam tumbuh-kembang balita?

Pemberian gizi yang adekuat merupakan salah satu upaya memberikan lingkungan sebaik-baiknya guna mencapai potensi anak yang ditentukan oleh faktor genetik (sifat bawaan). Gizi baik dan cukup juga merupakan bagian dari tiga kebutuhan dasar anak yang meliputi asuh (kebutuhan fisis biomedis, terutama gizi), asih (kebutuhan emosi, kasih sayang), dan asah (kebutuhan akan stimulasi mental yang menentukan perkembangan mental psikososial anak). Maka, pengaturan makan balita merupakan hal amat penting untuk diketahui oleh ibu atau pengasuh.

Jenis makanan, selain ASI (air susu ibu), untuk bayi dan balita dapat dibuat dari bahan makanan seperti berikut dengan memperhatikan pola gizi seimbang:

  • Makanan pokok (sumber energi terdiri aas beras, roti, kentang, dsb)
  • Lauk pauk (sumber protein hewani seperti daging, ikan, telur, ayam; dan protein nabati seperti kacang-kacangan, tempe, tahu)
  • Sayur-mayur (sumber mineral dan vitamin)
  • Buah (sumber mineral dan vitamin)
  • ASI sampai anak usia 2 tahun atau susu formula.
Selain itu, anak perlu pula diberi makanan selingan berupa makanan jajanan, yang tentu saja lebih sehat bila dibuat sendiri.

Dalam pemberian makan pada balita ada tiga aspek yang hendak dicapai, yakni:

  • Aspek fisiologis, yaitu memenuhi kebutuhan zat gizi untuk proses metabolisme, untuk kelangsungan hidup, aktivitas, dan tumbuh kembang.
  • Aspek edukatif, yakni mendidik bayi dan anak agar pandai atau terampil mengonsumsi makanan, membina kebiasaan makan, dan memilih makanan yang baik.
  • Aspek psikologis, yaitu memberi kepuasan terhadap rasa lapar atau haus pada anak. Sedangkan untuk ibu, memberi kepuasan karena telah melakukan tugas sebagai ibu.
Jadi, sambil makan (aspek asuh), anak juga mendapatkan aspek asah, yaitu dengan mengajaknya berbicara, dan sekaligus aspek asih.

Makanan hendaknya diberikan secara bertahap dan berangsur-angsur sesuai jenis, jumlah, dan kekentalannya. Setiap kali diperkenalkan jenis makanan baru, perlu diperhatikan tiga hal yaitu daya terima, toleransi pencernaan (muntah, diare), dan ada tidaknya gejala alergi.

Hasil pemberian makanan yang adekuat tercermin dari pertumbuhan optimal seperti kenaikan bobot badan, pertambahan tinggi badan, dan pertambahan lingkar kepala sesuai dengan umurnya. Sejalan dengan itu, zat gizi tertentu dapat mempengaruhi proses perkembangan. Energi dan protein berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan jaringan otak. Berbagai mikronutrien juga mempengaruhi perkembangan jaringan otak. Kekurangan seng (Zn) dan besi (Fe) misalnya, secara langsung menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak.

Pada sisi lain, proses perkembangan psikomotor (seperti merangkak, duduk, berjalan), dan proses perkembangan kognitif dipengaruhi oleh otak. Berbagai hasil penelitian mengungkapkan keadaan anemia (kurang darah) akibat kekurangan zat besi mempengaruhi baik fungsi psikomotor maupun kognitif anak.

Jadi, gizi merupakan salah satu bagian penting untuk tumbuh kembang balita secara optimal. Orangtua (khususnya ibu atau substitusinya) memegang peran sangat penting dan menentukan. Untuk itu diperlukan seorang ibu yagn sehat fisik, mental, dan sosial, serta berpendidikan memadai.