Intisari-Online.com - Tanpa konfrontasi perkawinan ibarat sayur tanpa garam. Ada yang mengandaikannya begitu dan memang benar adanya. Yang jelas, konfrontasi tidak tabu. Asal kita bisa mengelolanya sehingga tidak sampai menggoncangkan bahtera perkawinan.
Penyebab konfrontasi bisa beragam. Mulai dari perbedaan pola asuh terhadap anak-anak, keuangan, pasanganyang pendiam, tetek bengek sehari-hari, ucapan yang tidak berkenan, kesulitan seks, pekerjaan rumah tangga yang menyebalkan, kebanyakan hobi, dll.
Masalah-masalah di atas membuktikan bahwa tidak ada relasi yang damai seumur hidup. Dalam film atau dongeng sekalipun. Yang satu jengkel karena tidak setuju dengan cara mendidik anak. Yang lain jengkel karena boros membelanjakan uang. Pokoknya, ada saja dadakannya.
Makanya konflik sehari-hari harus dipecahkan. Kalau diam saja kejengkelan bisa merusak mental. Orang bisa jatuh sakit. Problem besar harus dibicarakan dengan pasangan dan menghindari pertengkaran terus-menerus tentang hal sepele. Jangan membuat soal kecil menjadi drama, sehingga hubungan akan menjadi keruh.
Seperti soal pendidikan anak, orangtua harus sepakat bahwa mereka akan mengambil kebijakan yang sama. Anak perlu orientasi yang jelas. Sedang persoalan uang belanja, dapat dipecahkan dengan mencatat semua pengeluaran selama tiga bulan. Bila benar-benar terlalu besar, mereka harus berani mengadakan penghematan. Juga masalah-masalah lain, pasti ada jalan keluarnya. Inilah perlunya komunikasi antara suami, istri, dan kalau perlu anak. Tak bisa tidak masing-masing pihak harus mampu menciptakan komunikasi dua arah atau dialog. Tidak hanya sekadar basa-basi, tapi berani mengungkapkan perasaan yang paling dalam.
Bukan hanya persoalan yang perlu dipecahkan dan dibicarakan, tapi juga rasa senang dan sedih pun perlu dibagi rata.Menurut para psikolog, rasa senang tidak akan berkurang kalau diceritakan pada orang lain. Sebaliknya, kita dapat mengurangi kesusahan dengan mencurahkannya pada orang lain.
Ada kalanya mendengarkan perasaan yang diungkapkan pasangan lain bisa menggugah perasaan kita, sehingga kita dapat menerima perasaan yang kebetulan hampir sama.
Bisa jadi bentuk komunikasi itu malahan berupa pertengkaran. Mengapa tidak? Berani berkonfrontasi terhadap pasangan bukan hal yang tabu, asal dituntaskan dan persoalannya tidak dibawa-bawa sampai esok hari. Namun kalau suasana malah makin memanas, sebaiknya berhenti dulu. Menunggu sampai emosi kedua pihak agak reda. Lalu masingmasing mengadakan gencatan pertengkaran, merefleksi diri, serta mencari sebab-sebabnya. Tak kalah penting adalah berani bertanggung jawab dan berani meminta maaf. Dengan begitu kita bisa mengambil langkah jernih ke depan, tanpa hams mengikutsertakan pihak ketiga sebagai wasit.Jadi, jangan ragu untuk berkonfrontasi jika itu menjadi cara memecahkan masalah.