Intisari-Online.com - Kerelaan mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain adalah pilar demokrasi. Orangtua bisa menancapkan pilar itu pada anak bila sejak kecil mau mendengarkan pendapat si anak.
Maka pantaslah didengar apa yang dikatakan Irwanto, Ph.D., pakar psikologi perkembangan asal Universitas Atmajaya, Jakarta, "Sikap demokratis harus dipupuk dan dikembangkan sejak dini." Karena itu peranan keluarga menjadi kunci keberhasilan. Ibu dan ayah harus selalu mengupayakan mendengarkan pendapat anak dan menyadari, tidak selalu pendapat orang dewasalah yang harus menang.
Kondisi ideal itu sayangnya tidak selalu bisa ditemui. Di Indonesia banyak orangtua memaksakan kehendak pada anak. "Selama ini, yang kita khawatirkan, anak-anak harus menurut apa pun kata orangtua. Itu bisa menghambat kemandirian anak. Katakanlah, kalau sudah SMTP, kita tanya mau makan apa? Maka dia bilang terserah deh. Atau kamu mau beli mainan yang kayak apa? Pokoknya yang begini, kayak temannya," ujar Irwanto.
Oleh karena itu Irwanto menyarankan agar sejak kecil anak diajak bicara. Kalau kemudian pendapatnya berharga, ya harus dihargai. Dalam arti sempit seandainya dia tidak suka mainan yang ia pilih sendiri, ya harus dikembalikan ke dia. Risiko pemilihan dikembalikan ke dia, tetapi pandangannya kita hargai.
Selain itu menumbuhkan sikap demokratis bisa lewat pendidikan kedisiplinan. Acap kali anak melakukan kesalahan, lalu tiba-tiba ia dibentak atau dipukul. Padahal anak belum tahu maksudnya. Mungkin secara kultural kita biasa mencubit atau memukul, tetapi itu harus dihindari. Kalaupun awalnya terasa sulit, makin lama harus makin berkurang.
Pengalaman hidup bahkan mengajarkan sehabis melakukan pencubitan, orangtua suka menyesal. Tetapi yang lebih penting adalah menunjukkan pada anak bahwa orangtua saying sama anak. "la kita peluk, terus kita omongkan, tadi sakit ya. Kita tunjukkan bahwa dia juga punya pendapat. Soalnya, anak sekecil apa pun, 3 - 4 tahun pun ngerti kalau kita ajak ngomong,” jelas Irwanto.
Agar anak mau diajak berbicara banyak hal, orangtua tentu wajib mencurahkan waktu yang berkualitas bersama anak. Ini untuk membangun kedekatan dengan anak. Bisa melalui, misalnya, kegiatan memancing atau berolahraga bersama. "Sebuah sarana tempat kita bisa saling bertukar ide," ujar bapak dua putri ini.
Memberi kesempatan
Namun, seerat apa pun pengertian dibangun, orangtua tak selalu bisa meluluskan permintaan anak. Persoalannya bagaimana ketidaksetujuan ini ditangkap anak secara baik, dan tak terjebak dalam sikap otoriter orangtua?
"Di sini terus terang garisnya abu-abu. Kita enggak bisa tegas-tegas amat. Soalnya, anak balita kalau menginginkan sesuatu enggak bisa kita ajak bicara secara logis 100%. Tetapi paling tidak, kesempatan itu sudah ada,” kata Irwanto.
Maka begitu orangtua memutuskan sesuatu yang menurut mereka paling baik, pada awalnya anak pasti ada rasa enggak enak. Tetapi kalau itu sering dilakukan, anak akan mulai berpikir, orangtua saya begini tentu punya alasan. Pertimbangkan itu kendati tak 100% logis buat dia, tapi ia tahu maksudnya bahwa paling tidak hal itu tidak jahat. Yang lebih penting adalah anak akhirnya tahu orang tuanya tidak menutup komunikasi.
Pada sebuah seminar ditegaskan bahwa salah satu faktor penentu keberhasilan pendidikan demokrasi pada anak terletak pada pola asuh yang dikembangkan di lingkungan keluarga. Peranan ibu amat diperlukan untuk menciptakan suasana demokratis dalam keluarga. Apalagi seorang ibu merupakan sosok orangtua yang menjadi panutan bagi anak-anak, sehingga tak berlebihan bila keberhasilan penanaman nilai-nilai demokrasi mereka antara lain tergantung bagaimana upaya ibu dalam mengasuh dan mendidik anak-anak di lingkungan keluarga.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR