Intisari-Online.com - Tak bisa dimungkiri, era teknologi dan digital saat ini memberikan berbagai kemudahan di berbagai bidang. Anak-anak pun diberikan “jatah” mencicipi kue kemudahan itu. Salah satunya adalah kemudahan belajar. Banyak aplikasi dan permainan yang dibuat untuk membantu anak belajar; bahasa, membaca, matematika, dan banyak lagi.
Di antara segudang keuntungan dan kemudahan yang ditawarkan berbagai perangkat canggih ini, tak sedikit orangtua yang menjadikan gadget sebagai musuh anak-anak. Benarkah gadget musuh anak-anak? Baikkah gadget untuk anak-anak?
Dra. Ratih Andjayani Ibrahim MM. Psi, psikolog yang menaruh perhatian besar kepada masalah anak, menyamakan pertanyaan di atas seperti bertanya, “Apakah pisau baik atau tidak?” Baik atau buruk tergantung bagaimana manusia menggunakan pisau tersebut. “Gadget-nya sendiri netral. Bisa menjadi ancaman ketika anak tidak diberikan pemahaman dan kecakapan cara menggunakan gadget secara benar. Itu tugas orangtua,” tegas Ratih.
Dalam dunia psikologi, ada beberapa gangguan yang terkait dengan penggunaan gadget, yang termasuk dalam gangguan perilaku. Beberapa gangguan itu misalnya dependensi dan obsesi kompulsif, ketergantungan yang berlebihan dengan gadget-nya; perasaan panik yang luar biasa ketika tidak membawa gadget atau hilang; voyeurism atau kecenderungan “mengintip” orang melalui aktivitasnya di media sosial; paranoia atau ketakutan yang berlebihan karena merasa dikuntit orang, walaupun di dunia maya; juga gangguan narsistik yang berlebihan.
Gangguan itu memang menyerang di segala usia, namun anak-anak lebih rentan, karena status pribadi yang masih rapuh. “Anak-anak sedang membentuk identitas diri. Sistem saraf pusat masih tumbuh, harus mendapat rangsangan yang sesuai dengan tahapan perkembangan dirinya dari kehidupan sehari-hari,” terang Ratih.
Karena masih sangat muda, ketika bersentuhan dengan teknologi modern, otomatis sistem rangsangan di sistem saraf pusat mendapatkan stimulus yang berbeda dari kehidupan nyata. “Dia baru belajar mengenali mana yang nyata dan mana imajinasi. Repot kalau dia membangun konsep yang keliru,” kata Ratih.
Kemampuan gadget dalam memberikan informasi yang luar biasa banyak dalam sekejap juga bisa menjadi ancaman bagi perkembangan anak. Karena terbiasa mendapatkan stimulasi melalui layar tablet atau telepon pintar, ketika “keluar” dari gadget tersebut, hidup nyatanya terasa sangat lamban dan membosankan, tidak seperti dunia maya. “Semua terasa seperti slow motion dan tidak sensasional buat anak,” lanjut Ratih.
Teknologi yang memudahkan dan mendekatkan itu membuat anak menjadi tidak tangguh ketika harus berhadapan dengan realita. “Memori otot (muscle memory) jadi enggak lentur, tidak secanggih orang yang biasa hidup di alam. Itu akan mempengaruh banyak keterampilan lain,” Ratih menerangkan. Memori otot adalah jenis lain ingatan manusia yang ada di jaringan otot, dibentuk oleh myelin. Semakin intens seseorang terlibat dalam tindakan dan latihan, kandungan myelin semakin tebal, dan semakin baik dia melakukan tindakan tersebut.
Intensitas komunikasi di dunia virtual juga bisa membuat kapasitas sosial anak di dunia nyata berkurang. “Kepekaannya dengan lingkungan sekitar menjadi kurang. Akibatnya, anak cenderung cuek dengan masalah sekitarnya,” kata ibu dari dua putra ini.
Jadi, tugas orangtua untuk mendudukkan gadget sebagai barang berbahaya atau tidak.