Intisari-Online.com - Sebelum benar-benar memutuskan homeschooling (HS), ada baiknya mendengar cerita Patricia Lestari Taslim, A.Md,, S.Pd berikut ini. Ibu satu anak bernama Maria Clara Yubilea Sidharta (Lala) ini memutuskan untuk melakukan HS kepada Lala sejak akhir tahun ajaran 2011. Waktu itu Lala selesai Ujian Nasional tingkat Sekolah Dasar.
“Lala adalah tipe anak kinestetik, yang lebih mudah belajar sambil beraktivitas. Dengan pendekatan personal dan mood yang harus selalu dibangun, sangat tidak cocok dengan metoda belajar klasikal yang mulai dari pukul 07.00 hingga setidaknya pukul 12.40 harus berada di kelas,” begitu alasan Patricia “mengeluarkan” Lala dari sekolah formal.
Namun Patricia tidak serta merta mengenalkan homeschooling kepada Lala. Selama bersekolah, Lala sudah diperkenalkan dengan kegiatan pembelajaran selayaknya homeschool untuk mengisi liburan. Begitu selesai UN, Lala langsung tancap gas dengan kegiatan homeschooling di rumah.
Tentu saja ada kendala, terlebih Patricia tinggal di kota Yogyakarta, yang kental suasana pendidikan formalnya. “Keluarga besar kami menganggap keputusan kami ‘gila’. Seluruh keluarga menentang. Dengan berbagai cara mereka berusaha agar kami kembali mendaftarkan anak kami ke sekolah,” ujar ibu yang sekarang full mendampingi Lala dalam beraktivitas.
Toh Patricia sekeluarga sudah bulat tekad. Walaupun keluarga tidak ada yang menyetujui mereka jalan terus. Tanpa bermaksud menggurui, mereka pun mulai melangkah di dunia HS. “Kami pun membuat berbagai foto, tulisan, atau apa pun yang dapat diakses oleh keluarga besar kami sebagai ‘laporan’ bahwa kami benar-benar serius dengan HS, dan kami baik-baik saja. Dengan berjalannya waktu, akhirnya perlahan-lahan keluarga pun mulai menerima keputusan kami dan mulai memberi dukungan. Ini (2013 - Red) tahun ketiga kami menjalankan homeschooling,” Patricia membagi kiatnya.
Dalam menyusun kurikulum buat Lala, Patricia mengikuti kurikulum nasional. Tidak menyusun sendiri. Menurutnya karena Lala sudah lepas dari pendidikan dasar, maka penyusunan kurikulum lebih memungkinkan. Untuk mendampingi belajar anaknya, Patricia dan suaminya saling melengkapi. Kebetulan Patricia dari bidang seni, dan suaminya dari bidang eksakta. Jadi kedua otak dapat dirangsang untuk berkembang.
Berhubung waktu belajar yang fleksibel itu, jika diimbangi dengan manajemen waktu yang tepat, maka homeschooling dapat memangkas “kelas”. Inilah salah satu kelebihan homeschooling sehingga meski baru berjalan tiga tahun, namun Lala saat ini sudah setingkat kelas 1 SMA. Pendidikan SMP diselesaikan dalam jangka waktu dua tahun.
Sedangkan untuk aktivitas sosial yang umumnya kurang pada homeshooling, Patricia mengakalinya dengan melibatkan Lala dalam beragam aktivitas. Misalnya, setiap tahun Lala ikut kemah rohani nasional untuk memperluas pergaulan dan wawasannya serta pembinaan iman. Lala pun terlibat aktif di gereja. “Saya pun selalu mengajak Lala untuk berbaur dengan warga kampung ketika di kampung ada ‘gawe’. Juga dengan memberi dukungan kepada Lala untuk ikut komunitas remaja, komunitas pencinta hewan, dan pencinta alam,” kata Patricia.
Bagaimana dengan komentar Lala? “Pergaulan saya jadi lebih luas, lintas usia, lintas agama, lintas budaya, dan lintas gender. Pokoknya asyik Om ....enggak nyesel deh jadi pelaku homeschool!”Semoga pembaca punya gambaran.