Intisari-Online.com -Trafficiking in Persons Report 2012 melaporkan bahwa Indonesia menjadi negara sumber utama, tujuan, dan transit bagi perdagangan seks, perdagangan perempuan, dan anak-anak. Laporan terbaru bahkan menyebut Indonesia sebagai negara dengan kasus human trafficking terbesar di dunia. Angkanya 6.651 (data IOM 2015).
Intisari edisi Desember 2010 pernah memuat kisah perempuan-perempuan korban human trafficking. Jika tulisan sebelumnya tentang Laura, maka tulisan ini akan bercerita bagaimana Melati “terpaksa” harus ke Batam (kota yang begitu ditakutinya).
Melati (nama samara) adalah seorang ibu muda dengan tiga anak. Perempuan 23 tahun asli Semarang ini mengaku menjadi korban trafficking akibat terjebak iklan tawaran lowongan pekerjaan baby sitter di surat kabar. Penderitaannya bahkan sudah dimulai sejak masih berada di Tanah Air.
Masih berada di kantor Agen Penyalur di bilangan Kalideres, Jakarta Barat, Melati sudah nyaris jadi korban pemerkosaan oleh Mr. X yang notabene adalah bos di Agen Penyalur itu. Di sana ia dipaksa untuk menuruti perintah agar bersedia dikirimkan ke mana pun. Akhirnya Batam (justru daerah yang ditakutinya) menjadi tempat labuhannya dalam bekerja. Tepatnya, di rumah (kita panggil saja) Ny. Ginta.
“Saya mau dibawa ke Batam karena diiming-iming gaji Rp800.000/bulan dengan tambahan bonus lebaran serta pemberian fasilitas makanan yang terjamin. Saya langsung disuruh tanda tangan surat kontrak tanpa saya tahu isinya,” tuturnya.
Di tempat itu, kisah hidup tragisnya dimulai.
Ny. Ginta adalah istri salah satu pengusaha muda terkaya di Batam. Umurnya baru 30-an. Parasnya cantik, badannya tinggi, dan kulitnya putih.
“Namun sayang, ia memiliki gangguan jiwa,” sambung Melati. “Gangguan depresi berat.”
Gangguan jiwa yang dialami oleh Nyonya Ginta akhirnya berimbas pada hidup keseharian Melati. Setiap hari, dia harus bekerja ekstra keras membersihkan pekerjaan rumah tangga, seperti mengepel, mencuci, membersihkan tanaman, dan lain sebagainya. Tiga lantai rumah Ny. Ginta menjadi tanggung jawabnya seorang sendiri tanpa jatah istirahat sedikit pun.
Jam kerjanya tak tanggungtanggung: pukul 05.30 hingga 02.30 keesokan harinya. Ketika suatu saat ia jatuh sakit, tuntutan kerja tetap, dan tanpa diberi makanan sedikit pun (karena dikira berbohong).
“Dalam mengerjakan pekerjaan rumah harus bersih Mbak. Nyonya tidak pernah tidur, sehingga ia akan selalu mengecek pekerjaan kita. Kalau tidak bersih, Nyonya akan main tangan dan melempar barang. Apalagi ada CCTV di rumah, jadinya ...,” kata Melati sembari berkaca-kaca.
Tangisan tiap malam pun selalu mengiringinya sebelum beranjak tidur. Keinginan untuk pulang ke Indonesia untuk bertemu suami dan anak selalu menjadi impian terbesarnya. Tapi apa daya? Ancaman untuk dipekerjakan menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) selalu dilontarkan oleh Ny. Ginta kepadanya, jika ia berusaha kabur.
“Saya hanya bisa berpasrah dalam salat. Tapi pernah saat melihat saya salat, Nyonya malah tertawa dan mengatakan dengan kata-kata kasar, ‘Kamu sembahyang percuma saja. Kamu akan selamanya di sini!’” paparnya.
Alhamdulilah, suatu hari di bulan September, doanya terjawab. Ia menemukan peluang untuk raelarikan diri dari rumah itu pada pukul 05.30, ketika majikannya belum terbangun. Kant or polisi-lah yang menjadi tujuan utamanya, dan beruntung pula, di sana ia bertemu dengan kerabatnya bertugas di sana. Diceritakannya pengalaman selama satu bulan di sana. Segeralah polisi melakukan pemeriksaan pada Ny. Ginta. Namun, atas kasus yang menimpanya, polisi tidak bisa berbuat apa-apa lantaran Ny. Ginta mengalami gangguan jiwa.
Ketika ditemui Intisari, wajah Melati terlihat begitu lega. Trauma dan ketakutannya untuk bekerja di luar negeri terpancar jelas. Ia hanya ingin ikut suaminya tercinta di Indonesia. “Saya tak ingin kembali, di Indonesia paling nyaman dan aman,” paparnya.