Intisari-Online.com -Kasus perdagangan manusia alias human trafficking memang bukan semata-mata ulah penyalur tenaga kerja nakal, tapi juga orang terdekat dan keluarga. Di beberapa tempat, justru orangtualah yang menjadi pangkal seseorang terjebak dalam lingkaran perdagangan manusia. Seperti halnya Laura, Tina (16) juga menceritakan bagaimana ia harus menjadi korban human trafficking karena dipaksa orangtuanya.
Tina dipaksa orangtuanya agar mau bekerja di cafe hiburan malam di Jawa Barat demi melunasi utang keluarga. Jumlahnya, bagi sementara orang, jauh dari spektakular. Tak berarti dibandingkan dengan jumlah uang dalam kasus-kasus korupsi yang sering ditayangkan di TV. Apalagi kalau sampai mengorbankan putri sendiri. Tapi, begitulah. Tina diserahkan kepada seorang pemilik cafe (dipanggil Mami) demi menebus utang sebesar Rp1 juta saja.
“Sebenarnya aku gak mau. Takut kerja di klub malam. Takut diapa-apain sama om-om nakal. Tapi gimana lagi, kalau aku gak kerja, Bapak-ibu gak bisa makan,” paparnya.
Keterdesakan ekonomi dan perasaan telah membebani keluarga inilah yang akhirnya membuat Tina setuju bekerja di klub malam. Mau tak mau, rela tak rela, Tina membiasakan diri berpakaian seksi dan minim. Tank top, hot pants, serta rok mini menjadi kostum kerjanya.
Lalu apa saja tugasnya? Setiap hari dia harus melayani satu hingga tiga tamu dari yang masih muda hingga matang untuk menemani minum, bercanda bersama, makan malam, atau berbelanja. Untunglah, selama empat bulan bekerja, dari Februari - Juni 2010, ia selalu berhasil menghindari ajakan untuk melanjutkan kencan ke tingkat selanjutnya, apalagi kalau bukan “menemani” di ranjang. Meski demikian, ia kudu merelakan tiap malam tubuh moleknya dijadikan lahan bebas untuk dijamah-jamah para lelaki hidung belang.
“Awalnya risih Mbak, dijamah, tapi ya gimana lagi. Kalau tidak mau dibegitukan, ya kita tidak (akan) dapat uang. Apalagi Mami nyuruh kita melayani tamu hingga puas. Tapi kalau urusan ranjang, aku selalu menolak. Alasannya haid,” ungkap Tina.
Dari servis yang ia berikan, uang senilai Rp150.000 – Rp200.000 bisa ia peroleh tiap malam. Dari penghasilan tersebut, ia harus membaginya untuk membayar utang orangtua, membayar kos dan listrik, dan membeli baju seksi serta alat-alat kosmetik. Alhasil dengan kerja kerasnya itulah, Tina dapat melunasi hutang orangtuanya dan kembali ke pelukan mereka. Bagusnya, Tina berhasil mengumpulkan cukup modal bagi orangtuanya untuk berjualan ikan di pasar.
Sekarang ini, penggalan kehidupannya itu justru menemukan makna lebih dalam setelah ia menjadi agen sosialisasi di masyarakat untuk kasus-kasus trafficking yang terjadi di Indonesia.