Intisari-Online.com -Puasa di Prancis tahun 2012 (juga 2013 ini) bertepatan dengan musim panas. Siangnya lebih panjang dibanding malam. Walhasil, waktu berpuasa juga sangat panjang, yakni 17 – 18 jam.
Imsyak pukul 04.30 sementara magrib pukul 21.30. Suhu udara juga mencapai angka di atas 35 – 36°C. Beberapa kali suhu mencapai 40°C. Sangat panas dan perlu perjuangan ekstra untuk berpuasa di musim panas ini.
Rahmad Hidayat, dosen jurusan sosiologi Universitas Negeri Jakarta yang saat itu tinggal di Perancis, bersyukur karena sudah memiliki pengalaman berpuasa tahun sebelumnya, sehingga tidak terlalu kaget.
Meski puasa jauh dari Tanah Air, namun tidak mengurangi kekhusukan dan kenikmatannya. Memang tidak ada suara azan bersahutan mengabarkan jam berbuka puasa di seantero masjid.
Tak ada juga warga yang membangunkan sahur. Semua dilakukan mandiri oleh warga yang berpuasa. Aktivitas warga Prancis lainnya berjalan seperti biasa.
Di sekitar apartemen Rahmad, terdapat dua masjid yang menyelenggarakan salat tarawih. Jadwalnya mulai pukul 22.45 hingga pukul 00.30. Salat tarawih dilaksanakan 11 rakaat yang terdiri empat kali salam, dan dua kali salam untuk salat witir.
Ibadah tarawih di masjid Al Othmanne dilaksanakan sebanyak 11 rakaat dengan setiap dua rakaat 1 kali salam. Imamnya membacakan semua isi Alquran selama berlangsungnya ramadhan.
Suaranya sangat bagus. Tajwidnya sangat sempurna. Dia seorang hafidz (penghafal Alquran). Dia juga yang menjadi imam salat lima waktu sehari-hari. Rahmad memperkirakan usianya sekitar 35 tahun dan berasal dari Aljazair.
Karena imam membacakan surat yang sangat panjang selama berlangsungnya tarawih, ditambah musim panas, tak heran jika setiap jamaah masjid berbekal air minum. Bahkan tak sedikit yang membawa botol 1,5 l, lengkap dengan gelas plastik.
Setiap selesai dua rakaat, mereka minum. Bahkan saling berbagi minum kepada yang tidak membawa.
Makanan berlimpah
Selama salat tarawih berlangsung, banyak juga jamaah yang ikut membaca surat yang dibacakan oleh imam. Caranya, selesai imam membacakan surat Al Fatihah, jamaah langsung membaca Alquran untuk mengikuti bacaan surat yang dibacakan imam.
Jika imam salah atau lupa saat membaca, maka jamaah dapat meluruskan dan membetul-kannya. Tapi seingat Rahmad, sang imam hanya beberapa kali lupa.
Seandainya Imam kebetulan lupa, terdengar koor suara dari jamaah untuk membetulkan kesalahan sang imam. Sebuah miniatur demokrasi yang indah, di mana umat yang dipimpin mengoreksi kealpaan dari pemimpinnya. Pemimpin pun menerima masukan dan koreksi umatnya.
Seperti juga di Tanah Air, di masjid ini juga tersedia makanan untuk takjil seperti roti khas Prancis, kurma, pizza, anggur, kue dan beberapa roti tawar. Makanan gratisan ini tampaknya disediakan oleh kaum dermawan yang rutin mengirimkannya.
Makanan disediakan dalam beberapa meja yang terpisah untuk jamaah laki dan jamaah perempuan.
Karena tersedia cukup banyak, kadang makanan tersebut masih tersisa hingga selesai tarawih. Beberapa kali Rahmad juga mengambil roti tawar, kurma atau anggur. Itulah secuplik suasana Ramadhan di Prancis. Meski jauh dari Tanah Air ditambah dengan godaan karena musim panas, tidak menghalangi Rahmad dan keluarganya untuk berpuasa. Artikel ini pernah diterbitkan di Intisari Juli 2013 dengan judul "Ngabuburit Kaum Minoritas di Prancis".