Advertorial
Intisari-Online.com – Filipina ternyata merupakan salah satu negara yang memiliki colloseum terbanyak. Tapi, Anda jangan salah sangka dulu, colloseum di sini lain dengan makna colloseum yang ada di Italia misalnya. Di situ orang Filipina malah bisa bertaruh.
Kata boleh sama, tetapi makna bisa berbeda. Apa yang dipikirkan orang ketika membaca atau mendengar kata colloseum di Kota Roma, Italia misalnya?
Di sana maknanya: stadion tempat adu manusia dengan binatang. Ada juga negara lain yang memberi makna sebagai tempat pertunjukan seni.
Sulit mengatakan negara mana yang memiliki colloseum terbanyak sedunia. Namun tidak mengada-ngada kalau dikatakan Filipina termasuk negara yang mempunyai colloseum terbanyak.
Baca juga: Fakta Menarik Macau, Daerah yang Penuh dengan Gemerlap Perjudian VIP!
Bayangkan saja, di setiap kabupaten setidaknya ada sebuah colloseum. Belum lagi di kota-kota besar. Padahal di seluruh Filipina terdapat 75 propinsi. Yang unik, semua colloseum di situ mempunyai makna satu saja, yakni arena adu ayam alias sabong dalam bahasa Tagalognya.
Siapa saja boleh ikut
Kalau pemerintah Indonesia melarang segala bentuk perjudian, Filipina ternyata tidak. Buktinya sabong (cockpit bahasa Iriggrisnya) adalah judi legal. Artinya, arena itu secara sah diakui sebagai tempat bertaruh ketika ayam diadu.
Jam main di setiap colloseum adalah Jumat dan Sabtu, dari pukul 13.00 – selesari, sedangkan hari Minggu dari pukul 10.00 - malam.
Siapa saja boleh bertaruh di arena, entah polisi, pejabat tingkat desa, bahkan bisa juga walikota. Malahan, salah seorang kandidat presiden pada pemilu 1992 dikenal masyarakat sebagai petaruh sabong yang hebat.
la berani bertaruh jutaan peso karena memang kaya, tetapi ia melayani juga taruhan-taruhan kecil sekadar melampiaskan hasrat bertaruh.
Di daerah asalnya, tokoh ini memiliki peternakan ayam khusus untuk konsumsi sabong. Menurut penuturan dari mulut ke mulut, kualitas ayam Palawan (nama tempat asal sang tokoh) memang bagus.
"Jago-jago Palawan memang hebat," kata salah seorang satpam sebuah kantor swasta yang pecandu adu ayam.
Di dekat pintu masuk arena, para pemilik ayam jago mencari lawan bertanding. Ada ahli ayam di situ yang menenrukan bahwa "Proxy" mampu melawan "Nino" misalnya. Akan tetapi bisa saja pemilik si. "Pinoy" misalnya, mencari lawan sendiri dengan taruhan 75 : 25.
Artinya, kalau si Pinoy menang, pemiliknya akan mendapat ¼ bagian dari taruhan dan kalau kalah ia harus membayar 3/4-nya. Cara seperti itu ditempuh oleh pemilik ayam yang mau mencoba-coba ayam jagonya. Apakah ayamnya hebat bertarung atau akan segera menjadi ayam goreng.
Nonton sabong berarti juga mengetahui siapa-siapa petaruh kaya, yakni mereka yang duduk di sekitar ring tinju ayam, dan siapa-siapa pula botoh-nya (Jawa: semacam promotor). Mereka yang berada jauh dari ring boleh dipastikan hanya sekadar menonton.
Baca juga: Geser Las Vegas, Inilah Kota dengan Pasar Perjudian Terbesar di Dunia
Kalaupun bertaruh pasti hanya berbisik-bisik saja karena jumlah taruhannya kecil.
Yang kalah digoreng
Cara bertaruh dilakukan secara terbuka Ramainya suasana seperti dalam bursa saham. Botoh yang ada di ring mengajukan tawaran kepada mereka yang persis berada di sekitar ring. Kecuali berteriak-teriak menjagokan pilihannya, ia juga mengacung-acungkan jari-jari tangannya sebagai isyarat.
Jari-jari tangan ke bawah berarti ia menawarkan taruhan dalam satuan ribuan: satu jari seribu, dua jari dua ribu, dst. Kalau jari-jari tangan menunjuk ke arah samping (kanan atau kiri) berarti tawarannya dalam satuan ratusan saja. Tapi, ia juga melayani taruhan dalam satuan puluhan, misalnya 50 peso (± Rp 4.000,-).
Selain bertaruh dengan botoh-nya, orang bisa juga bertaruh melawan orang yang duduk di sebelahnya, di atasnya, atau yang duduk di seberangnya.
Lamanya saling bertaruh dalam setiap pertandingan sekitar 3 - 5 menit, sementara dua ayam jago yang akan diadu diperagakan di atas ring. Caranya, ayam-ayam itu saling mematuk meskipun masing-masing dipegang pemiliknya.
Selain itu juri memeriksa apakah pisau runcing dan tajam yang dipasang di kaki kiri sang jago sudah terpasang baik atau belum. Ayam-ayam itu juga diberi tanda pita yang berbeda warna, satu merah dan lainnya hijau.
Arena yang tadinya ramai oleh ributnya para petaruh, mendadak senyap begitu kedua ayam saling bertarung. Ayam itu saling menghajar, sampai salah satu terkena pisau yang tajam.
Walaupun si ayam terkapar, tetapi kalau juri mengangkatnya dan mendekatkan kedua ayam itu dan si terluka masih berani mematuk lawannya, maka pertarungan tetap diteruskan.
Ingar bingar penonton merebak jika masih ada perlawanan. Namun, jika tak ada perlawanan lagi kedua ayam diangkat tinggi-tinggi. Sekali lagi keduanya disuruh saling mematuk.
Yang dianggap menang disuruh mematuk pertama kali, setelah itu ayam yang sudah terkulai diberi kesempatan. Penonton yang menang bertaruh segera berteriak gembira menyambut kemenangan jagonya.
Baca juga: Kalah Judi 67 Miliar, Wanita Indonesia ini Bikin Suami Bulenya Bangkrut dan Jatuh Miskin
Lalu jagonya dibawa ke luar arena dan pertunjukan lain tersaji: petaruh yang kalah menyerahkan uangnya kepada petaruh yang menang. Caranya? Uang dilipat-lipat atau digulung, lalu dilempar. Kalau botoh menang, dari luar ring uang berdatangan.
Sebaliknya, kalau botoh kalah, dialah yang melemparkan uang taruhan ke arah petaruh yang menang.
Semuanya berlangsung dengan sportif. Baik yang menang maupun yang kalah harus memenuhi transaksi yang telah disepakati sebelumnya. Tak ada yang menunda pembayaran atau menyelinap pergi karena kalah.
Padahal, penonton ratusan jumlahnya dan mungkin di antara para petaruh tersebut baru bertemu saat itu.
Dalam waktu kurang dari satu jam, sepuluh pasang ayam jago sudah saling beradu. Hanya 60% saja yang masih hidup, sebab jago yang kalah umumnya mati seketika karena hatinya robek atau lehernya hampir putus terkena pisau lawan.
Baca juga: Suami Gemar Mabuk dan Berjudi, Berhakkah Istri untuk Menceraikan?
Jadi bisa dibayangkan jika sabong berjalan 5 - 6 jam, berapa banyak ayam yang mati dan menjadi ayam goreng.
Memang itu nasib jago-jago yang mati. Di sudut colloseum seorang anak usia belasan tahun bertugas memanasi air dan mencabuti bulu-bulunya.
Sementara di sudut yang lain berjajar rumah makan yang siap menggorengnya. Jika jam istirahat tiba, mungkin ayam yang tadi dijagokan para petaruh dan kalah, malah disantap.
Istri berkarier, suami nganggur
Di sebelah tempat pembersihan bulu ayam juga ada kamar operasi. Di situ ada dokter hewan atau mantri hewan yang praktek bagi ayam-ayam yang terluka. Sejauh masih bisa ditolong, ayam-ayam itu dijahit lukanya.
Caranya menjahit memang unik: dengan benang dan jarum jahit biasa. Ayam yang terluka ditaruh di pangkuan sang empunya. Berapa ongkosnya? Tergantung besar-kecilnya luka. Tapi minimal 25 peso (± Rp 2.000,-).
Baca juga: Pelaku Penembakan Las Vegas: Saya Berjudi Sepanjang Malam dan Tidur Sepanjang Hari
Tidak jauh dari kamar operasi ada ruang khusus yang tertutup untuk umum. Hanya pemilik ayam yang boleh masuk karena di situ pisau taji dipasang. Pisau-pisau itu tertata rapi di dalam tas khusus, seperti tas bedah di rumah sakit.
Di situ pemilik ayam membayar ongkos sewa dan pasangnya. Karena sudah membayar sewa dan pasang itulah, pemilik ayam bebas dari kewajiban membayar karcis masuk arena (termasuk para botoh juga harus membayar) sebesar 30 peso.
Para petaruh dan penonton sabong memang sebagian besar laki-laki. Konon sabong dan minum merupakan bagian dari kehidupan kaum lelaki di Filipina. Cuma ada akibat negatifnya: kaum pria jadi tak semaju lawan jenisnya.
Banyak suami yang tak bekerja, sementara sang istri berkarier. (J.C. Tukiman Tarana – Intisari Agustus 1994)
Baca juga: Saat Kartu Remi Bukan Menjadi Alat untuk Berjudi, Tapi Sarana untuk Bertransaksi