Kata Kolok, Bahasa Isyarat yang Digunakan Warga Desa Bengkala untuk Berkomunikasi Selama Tujuh Generasi

Ade Sulaeman

Editor

Kata Kolok, Bahasa Isyarat yang Digunakan Warga Desa Bengkala untuk Berkomunikasi Selama Tujuh Generasi
Kata Kolok, Bahasa Isyarat yang Digunakan Warga Desa Bengkala untuk Berkomunikasi Selama Tujuh Generasi

Intisari-Online.com - Para turis asing yang mengunjungi Bali biasanya memilih menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi dengan warga lokal.

Bahkan terkadang beberapa turis asing telah menguasai bahasa Indonesia, menggunakan bahasa ini untuk berkomunikasi di Bali.

Karena penduduk di Bali biasanya menggunakan dua bahasa tersebut untuk berbicara dengan turisatau wisawatan.

Namun, sebuah desa yang berada di sebuah hutan di wilayah utara Bali menggunakan bahasa unik yang yang lebih sulit dipahami.

Orang asing dan penduduk bali menyebutnya "Kata Kolok", bahasa yang tidak pernah diucapkan.

Kata kolok, dikenal sebagai "pembicaraan orang tuna rungu," sebuah bahasa yang sangat unik, bahasa isyarat pedesaan, berbeda dengan bahasa isyarat internasional atau Indonesia.

Bahasa isyarat ini sudah menjadi bahasa utama yang digunakan warga Desa Bengkala yang berada di hutan utara Bali Bengkala secara turun temurun.

Di Bali, banyak penduduk lokal menyebut desa Bengkala sebagai "Desa Kolok" atau Desa Tuli.

Di Bengkala jumlah penduduk tuna rungu berjumlah lebih banyak dibandingkan orang yang terlahir normal selama lebih dari tujuh generasi terakhir.

Tercatat sekitar 3.000 orang penduduk desa mengalami tuna rungu sejak lahir.

Jumlah tersebut sangatlah banyak. Sebagai perbandingan, dari 1.000 kelahiran bayi di Amerika Serikat, hanya dua hingga tiga anak yang terlahir tuna rungu.

Tingginya persentase tuli disebabkan oleh gen resesif geografis-centric, yang disebut DFNB3, yang telah hadir di desa selama lebih dari tujuh generasi.

Selama bertahun-tahun, penduduk desa percaya tuli itu hasil dari kutukan.

"Cerita yang terkenal adalah bahwa dua orang dengan kekuatan sihir berperang satu sama lain dan kemudian mengutuk satu sama lain untuk menjadi tuli," kata Ida Mardana, kepala desa Bengkala, yang bisa berbahasa Bali, Indonesia, Inggris dan kata kolok.

Ia mengatakan, arti dari Bengkala adalah tempat bagi seseorang untuk bersembunyi.

Di Desa Bengkala, para penduduknya sudah terbiasa dengan gaya hidup orang tuna rungu. Di seluruh desa, semua warga berbicara dengan menggunakan tangan mereka.

Para orangtua di Desa Bengkala mengajari anak-anak mereka kata kolok di rumah, menanamkan benih kesetaraan yang akan tumbuh ketika anak-anak mereka dewasa.

Begitu juga di sekolahan. "Siswa tuna rungu belajar bersama-sama dengan mendengar siswa di sini," kata Mardana.

"Guru berbicara sekaligus menggunakan bahasa isyarat pada saat yang sama. Sehingga, hampir semua orang tahu kata kolok," tambahnya.

Untuk mata pencaharian, mayoritas penduduk di Desa Bengkala, merupakan petani pisang, mangga, jambu, mencari rumput gajah, merawat beberapa sapi dan babi serta ayam.

Di pasar lokal, mereka harus menggunakan timbangan dan gerakan tangan untuk bisa menjual hasil panen mereka.

"Kadang-kadang warga di desa ini menghadapi sedikit kesulitan berkomunikasi. Tapi mereka menyelesaikannya dengan penandatanganan sederhana," kata Kadek Sami, seorang ibu dengan dua anak yang mengalami gangguan pendengaran.

Generasi muda penyandang tuna rungi di Bengkala kini mulai menggunakan ponsel pintar untuk berkomunikasi-, media sosial, dan bahasa isyarat internasional.

Dalam beberapa tahun terakhir, remaja-remaja tuna rungu telah mendaftar di sekolah asrama tuli terdekat di Jimbaran, dan belajar bahasa Indonesia.

(kompas.com)