Wisata Hijau Yuk!

Agus Surono

Editor

Wisata Hijau Yuk!
Wisata Hijau Yuk!

Membaca berita di harian Kompas saya jadi trenyuh. Panjang rel kereta api di Indonesia tak sampai 5.000 km. Bandingkan dengan India yang 65.000 atau Cina yang 91.000 km. Memang, tak adil membandingkan panjang rel dua negara daratan tadi dengan Indonesia yang negeri kepulauan. Namun kita bisa melihat sendiri bahwa kebijakan perkeretapian di Indonesia (sepertinya) masih setengah hati. Kalah jauh dengan proyek jalan tol, misalnya.

Padahal, jika transportasi KA diberdayakan, akan banyak manfaat yang bisa diperoleh. Bagi saya pribadi, semakin banyak jalur KA akan membuat "wisata hijau" saya semakin berkembang. Wisata hijau yang saya maksud adalah wisata ke DTW dengan naik sepeda. Memang belum banyak wisata hijau yang saya lakukan. Baru ke Cilacap dan Bandung.

Wisata hijau versi saya adalah bersepeda di DTW menggunakan sepeda lipat (seli). Sementara untuk transportasi dari daerah asal ke DTW menggunakan KA. Ada dua permasalahan yang sering saya hadapi: jaringan kereta terbatas dan belum ada aturan baku soal sepeda lipat masuk gerbong. Jalur kereta api relatif banyak di P. Jawa, meski tak semua kota disinggahi. Padahal banyak rel mati yang kalau dihidupkan sangat membantu wisata hijau saya. Sementara sering saya ditanya soal seli yang masuk gerbong. Ada perdebatan bahwa seli harus masuk gerbong barang karena termasuk sepeda. Namun karena sifatnya yang ringkas dan beratnya di bawah aturan yang harus masuk gerbong, maka seli harusnya boleh masuk gerbong.

Saya membayangkan suatu saat bisa naik KA sampai Padang. Begitu turun dari stasiun langsung berkemas-kemas, membuka lipatan sepeda, menaruh pannierdi rak sepedadan wes... menuju penginapan. Esok harinya menjelajah Padang atau touring kecil ke Bukittinggi dan menikmati alam di sana. Setidaknya saya pernah melakukan seperti itu dengan bersepeda lipat ke Cilacap. Meski ada rute Jakarta - Cilacap, namun saya turun di Purwokerto. Jarak Purwokerto - Cilacap masih wajar digowes menggunakan sepeda lipat. Saya jadi tahu ada jembatan yang memiliki lampu pengatur bagi kendaraan yang akan melintasinya. Jadi tahu indahnya Sungai Serayu. Serta banyak hal yang saya peroleh karena bersepeda.

Seiring dengan meningkatnya gaya hidup bersepeda, saya yakin banyak yang akan melakukan wisata hijau seperti itu. Beberapa hari lalu teman-teman saya melakukan ke Yogyakarta. Mereka melabeli wisatanya dengan bike2heritage. Memanfaatkan libur Waisak, mereka naik KA dari Jakarta ke Yogyakarta. Di Yogyakarta mereka mengunjungi wisata-wisata budaya menggunakan sepeda lipat mereka. Coba hitung, berapa banyak polusi yang sudah mereka hemat dengan cara itu.

Nah, apakah pemerintah - dalam hal ini Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata - jeli melihat peluang ini?