Hantu Bernama Ujian Nasional

Susianah Affandy

Editor

Hantu Bernama Ujian Nasional
Hantu Bernama Ujian Nasional

Kasus terusirnya Siami dalam kasus contek massalmemiliki implikasi sosiologis.Dalam acara talkshow di TV awasta nasional Rabu malam (15/6), Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh menegaskan bahwa hasil investigasi timnya tidak melihat adanya bukti telah terjadi contek massal ujian nasional (UN) di SDN Gadel II/577 Tandes Surabaya. Jadi tidak perlu diselenggarakan ujian ulang seperti himbauan publik. Kasus contek massal sebenarnya bukan hal baru. Sejak diselenggarakan ujian nasional pertama kali tahun 2004 (saat itu Ujian Akhir Nasional), sistem evaluasi pembelajaran ini telah menjadi “hantu” tak hanya bagi siswa dan orangtua namun juga guru dan pihak sekolah sebagai penyelenggara pendidikan.

Dua Opsi Yang Menghantui

Adalah Siami, Ibu dari siswa berinisial Al yang melaporkan kasus pencontekan massal di sekolah anaknya kini kondisi psikologis-nya dalam tekanan. Meski warga Gadel Surabaya telah membuka diri agar Siami berserta keluarganya kembali ke Gadel pasca pengusiran, secara sosiologis anjuran warga tersebut tetap tidak menguntungkan Siami. Pasalnya, Siami memahami kondisi sosial-budaya warga yang telah bertahun-tahun menjadi tetangganya adalah warga yang temperamentalnya mudah marah. Apalagi kasusnya kini juga menjadi perbincangan nasional setelah ia berkunjung ke MPR.

Jika ujian nasional di selenggarakan (kembali), pihak yang dirugikan terhadap sistem tersebut tetaplah Siami dan keluarganya. Siami yang dicap warga sebagai pihak yang tidak “berhati nurani” karena telah menyebabkan kepala sekolah diturunkan dari jabatannya dan 2 guru mendapat sanksi, dengan adanya ujian ulang akan semakin membuat posisinya sebagai rakyat kecil tertekan. Kebencian warga masyarakat akan memuncak jika hasil ujian nasional berbuah buruk, misal ada siswa yang tidak lulus sekolah.

Selain itu ujian ulang juga sangat bertentangan dengan UU No 23/2003 tentang Perlindungan Anak karena anak yang harusnya mendapat perlindungan, justru telah dikriminalkan oleh sistem. Ujian ulang memposisikan Anak sebagai pihak yang bersalah. Padahal kasus contek massal di sekolah tersebut dilakukan karena intruksi guru.

Jikapun ujian ulang tidak diselenggarakan karena tidak terbukti adanya contek massal di SDN Gagel II/577 Tandes Surabaya seperti disampaikan Menteri Pendidikan Nasional, hal ini juga membuat posisi Siami beserta keluarga tak lepas dari tekanan dan justru kondisi tersebut kian menekan mentalnya. Ungkapan tidak terjadi contek massal membuat masyarakat akan menudingnya telah melakukan fitnah. Masyarakat yang telah mengusirnya lalu “merasa” di atas angin karena secara politik di“back up” langsung oleh Menteri. Secara hukum, jika contek nasional tidak terbukti terjadi di sekolah tersebut maka pemerintah harus mengembalikan nama baik kepala sekolah dan dua guru yang telah dijatuhi sanksi.

Sistem Yang Tidak Memberdayakan

Di tengah kegelisahan seorang warga bernama “Siami”, pemerintah dan politisi di Jakarta justru saling adu-debat terhadap kasus “contek” yang sebenarnya sudah membudaya dalam sistem pendidikan kita. Politisi di parlemen menghimbau kepada pemerintah (Kementrian Pendidikan) agar berpihak kepada “Siami dan keluarganya”. Sedangkan pemerintah melihat usulan politisi parlemen menjadikan Siami sebagai pahlawan kejujuran selain dianggap tidak menyelesaikan masalah, justru akan memperuncing konflik sosial. Sehingga perdebatannya adalah “ada atau tidaknya” contek massal di sekolah tersebut.

Jika dikembalikan pada akar permasalahannya, aksi “contek” dalam ujian nasional dapat bermakna dua hal. Pertama, ujian nasional telah mewujud menjadi “hantu” dalam sistem pendidikan sehingga bagi sebagian besar siswa sedapat mungkin harus dihindari. Sayangnya cara menghindari “hantu ujian” ini belakangan dilakukan secara sistemik yang juga melibatkan guru dan penyelenggara pendidikan lainnya dengan berbagai cara antara lain pembocoran soal, penyebaran kunci jawaban, dan aksi contek. Kedua, ujian nasional dari tahun ke tahun masih dimaknai hanya sekadar acara “seremonial”, satu tahap menjelang kelulusan. Akibatnya berbagai upaya dilakukan dengan tujuan kegiatan “seremonial” tersebut berlangsung sukses.

Para guru dan pihak sekolah berupaya keras agar siswa didiknya dapat lulus 100%. Ini kaitannya dengan kepercayaan masyarakat. Jika tidak 100% masyarakat tak percaya dengan kualitas sekolah tersebut. Mereka akan enggan menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah tersebut. Indikator kecerdasan dan kelulusan sekolah yang hanya dilihat dari kelulusan ujian nasional sangatlah tidak memberdayakan masyarakat. Apalagi materi pelajaran yang diujikan disamaratakan antara siswa yang sekolah di SMP atau SMU dengan siswa di MTs atau MA. Padahal proses belajar selama 3 tahun lamanya sangat berbeda. Fenomena inilah yang menjadi alasan mengapa para orangtua yang anaknya sekolah di MTs atau MA menjelang ujian nasional banyak mendatangi “orang pintar”, Kyai, atau pondok pesantren dengan tujuan agar putra-putri mereka mendapat bimbingan doa lulus ujian. Tidak sedikit para orangtua dan siswa di desa-desa juga menyelenggarakan doa bersama (baca: istighosah) agar lulus ujian.

Sistem Yang Menghantui

Apa yang terbayang di benak kita terhadap institusi sekolah? Secara umum masyarakat memiliki persepsi yang sama terhadap institusi sekolah yakni sebuah bangunan segi empat, di dalamnya terdapat aktivitas guru yang mengajar, siswa yang belajar dan kurikulum sebagai pijakan atau pedoman materi yang diajarkan. Dalam sistem pendidikan yang ada selama ini, khususnya di sekolah yang jauh dari Ibu Kota, guru menempati posisi sentral. Selain melaksanakan fungsi pengajaran, transformasi ilmu pengetahuan kepada siswa, guru juga memposisikan diri sebagai pihak yang menentukan “baik-benar” dan memiliki otoritas “menghukum” siswa yang dianggapnya “tidak baik” dalam kaca mata guru tersebut.

Ukuran “baik-benar” seorang siswa tidak akan mengundang masalah jika hal tersebut tidak bertentangan dengan teori belajar. Pasalnya, di desa-desa ukuran siswa yang “baik” dan bahkan “cerdas” kerap diasosiasikan dengan siswa yang “pendiam” seperti pepatah yang juga kerap disampaikan guru “tong kosong nyaring bunyinya”. Akibatnya guru akan mudah marah jika terdapat siswa yang kerap bertanya terhadap hal-hal yang mendasar. Dalam pengalaman penulis sendiri, guru juga sering memberi stigma “bani Israel” kepada siswa yang kerap bertanya.

Secara teori, sistem pendidikan seharusnya mengedepankan aspek pengembangan anak didik. Dunia anak adalah dunia bermain. Maka sistem pendidikan juga harus mengedepankan karakter yang khas pada diri anak tersebut. Seiring kemajuan teknologi komunikasi, sejak tahun 1990-an sampai saat ini bermunculan institusi pendidikan yang menerapkan teori belajar. Sistem pembelajaran terintegrasi dalam medan permainan sehingga anak didik merasa nyaman, senang dan kecanduan belajar. Bahkan belakangan muncul konsep pendidikan “home schooling” yang tidak mengharuskan anak pergi ke sekolah menyusul konsep sebelumnya “sekolah alam” dengan anak tidak harus belajar di kelas namun di alam terbuka. Sayangnya, institusi sekolah seperti ini keberadaannya ada di kota-kota besar dan hanya bisa dijangkau oleh keluarga dengan finansial yang mencukupi.

Di desa-desa, intitusi sekolah benar-benar “menjadi hantu”. Anak didorong menjadi robot yang harus “nurut” pada petuah guru yang maha mengetahui. Jika ada siswa melakukan kesalahan, tidak jarang guru memberi sanksi yang justru dapat membuat anak trauma. Seperti halnya penulis ketika menjalani pendidikan di sekolah dulu, anak-anak didik ini akan bersorak gembira jika guru pengajarnya tidak masuk kelas. Jika ujian tiba, hantu itu kian menghantui siswa, orangtua dan penyelenggara pendidikan. Secara filosofis, dulu kita mengenal ujian dengan istilah “ulangan” artinya “mengulang kembali apa yang telah diajarkan”. Lalu mengapa sistem ulangan dengan istilah “ujian nasional” ini begitu menghantui kita kecuali makna “ulangan” itu akan paradok ketika apa yang menjadi materi ujian tak pernah diajarkan.

Mengakhiri tulisan ini, jika sistem pendidikan kita tak mampu membuat anak didik percaya dengan dirinya sendiri, mandiri, bertanggung jawab, memiliki kecakapan akademik dan kecakapan sosial lalu sebenarnya - meminjam istilah sosiolog fungsionalis struktural - apakah sekolah itu masih memiliki fungsi? Meski tidak menutup mata ada satu fungsi yang masih dipertahankan sekolah sampai hari ini adalah memproduksi pengangguran. Wallahu ‘alam

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB