Saya ingin menggugah kembali kesadaran tersebut. Soalnya, meminjam kalimat Syafii Maarif (Kompas, 20/5/2011), “Jika kesadaran itu tetap saja tumpul dan rapuh, segala peringatan – apa pun bentuk dan coraknya – adalah sebuah kesia-siaan.” Pendidikan merupakan pembentukan karakter manusia, yang pada gilirannya turut menentukan maju-mundurnya suatu bangsa.
Saya ingin berbagi secuil pengalaman selama menempuh pendidikan di sekolah negeri dan swasta.
Pendidikan dasar saya ditempuh di sekolah negeri. Kelas 1-3 di Jakarta. Sedangkan, sisanya, dituntaskan di salah satu daerah satelit Jakarta. Yang membedakan, SMP di swasta, SMA di negeri. Syukurlah, perpindahan ini tidakberpengaruh terhadap prestasi akademik di sekolah. Justru saya “terlatih” dalam hal beradaptasi dengan lingkungan baru.
Menyoal perbedaan, saya sendiri tidak terlalu merasakannya saat itu. Boleh jadi, hal ini dikarenakan saya sedikit “beruntung” karena mendapatkan sekolah yang berkualitas.Kelas 1 - 3 misalnya. Gedung sekolahnya besar dan terpelihara, guru-gurunya kompeten dalam bidangnya, lingkungannya kondusif bagi proses belajar-mengajar. Pendek kata, kondisi ini memungkinkan saya menjadi juara kelas.
Namun, hidup tak selamanya indah. “Kemewahan” tersebut berbanding terbalik saat saya duduk di kelas 4-6, yang merupakan fase terburuk dalam pendidikan saya. Di sekolah ini, saya mulai melihat ketidakdisiplinan, mengalami yang namanya pungutan-pungutan liar. Di sini, saya juga mengalami apa yang dialami “Laskar Pelangi”, meski tidak separah mereka. Bayangkan, satu bangku diisi tiga orang. Suasana kelas sangat gaduh, atap yang bolong, lingkungan yang buruk seperti budaya merokok dan tawuran.
Semua keburukan itu diperparah dengan seorang guru agama yang (maaf) sering melakukan pelecehan fisik terhadap murid-murid perempuan. Di akhir masa belajar, ibu saya pernah di-”nasihati” oleh Kepala Sekolah agar saya tidak terlalu jujur. Semua bermula ketika saya meletakkan pensil di atas kertas jawaban saat seisi kelas asyik menuliskan ulang bocoran jawaban Ujian Nasional (saat itu Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional/Ebtanas) yang didiktekannya. Kalau mengingat peristiwa ini, ada kebanggaan tersendiri yang jauh melebihi nilai UN, sebagus apa pun itu. Berasa seperti Soe Hok-Gie
Syukurlah, yang buruk itu lekas berlalu. Meski tidak bisa duduk di SMPN favorit, saya diterima di sekolah swasta yang berkualitas. Kembali ada kebanggaan karena belakangan saya tahu banyak teman-teman yang nilai UN-nya jauh di bawah saya, ternyata bisa diterima di SMP tersebut. Tentunya Anda paham.
Singkatnya, di sekolah swasta yang cuma terdiri dari dua kelas ini, saya menemukan kembali “kemewahan” dalam belajar. Yang terpenting, saya mendapatkan pendidikan moral, nasionalisme, dan pluralisme, baik lewat persahabatan yang hangat, maupun dari kegiatan ekstra, yakni Pramuka dan Paskibra. Pada tahap ini, saya juga mulai paham bahwa biaya sekolah swasta itu mahal saat ibu saya mengatakan, “Diusahakan SMA-nya di negeri ya.”
Dari pengalaman-pengalaman tadi, saya bisa menarik beberapa kesimpulan. Pertama, sekolah negeri jauh lebih murah ketimbang sekolah swasta. Hal ini secara sederhana tercermin dari banyaknya jumlah murid di sekolah negeri. Kedua, sekolah swasta cenderung jauh lebih disiplin dan “maju” dari segi pendidikannya. Boleh jadi, hal ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa sekolah swasta tak kalah bermutu dari sekolah negeri. Juga sebagai “ganti” dari ongkos mahal yang sudah dikeluarkan oleh para siswanya.
Saya tak ingin membahas lebih jauh perbedaan lainnya yang sudah diketahui banyak orang. Yang jelas, dari beberapa perbedaan yang ada tidak bisa ditarik kesimpulan absolut bahwa yang negeri itu pasti jauh lebih baik atau sebaliknya. Menurut saya, "lebih baik" itu berpulang kepada kesadaran seperti yang saya ungkap di awal tulisan ini.Kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi sebuah bangsa, khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah maupun swasta sama-sama memiliki niat tulus untuk menghadirkan pendidikan yang berkualitas sebagai bentuk dari “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Terakhir, saya ingin menyampaikan perasaan haru-biru yang menyeruak tiap kali mengingat pengorbanan para guru yang pernah mengajar saya dengan kasih nan tulus. Betapa saya teringat, di balik mata dan senyum mereka yang tanpa beban itu, sesungguhnya hati mereka selalu menangis karena beban di bahu mereka tidaklah sebanding dengan apa yang mereka peroleh. Namun demikian, mereka tetap tekun berjuang, tanpa pamrih. Mereka senantiasa menerobos sekat-sekat perbedaan, tak peduli negeri atau swasta, karena bagi mereka adalah hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas. Masih adakah mereka di hati kita saat memaknai Hari Pendidikan Nasional untuk kesekian kalinya ini?*) Tulisan ini merupakan salah satu pemenang Lomba Menulis Inspirasi yang diselenggarakan Intisari Online.