Intisari-Online.com - Alkisah, seorang bocah berpakaian kumal menjadi pembicaraan di sebuah kampung di ujung Bulan Ramadhan. Kemunculannya termasuk misterius.
Sudah tiga hari ini ia mondar-mandir keliling kampung. Menggoda anak-anak sebayanya, menguji kesabaran remaja tanggung di atas usianya, dan bahkan "menantang" emosi para orang tua.
Ya, bagaimana tidak? Ia berjalan ke sana kemari dengan menenteng plastik berisi es kelapa di tangan kiri dan roti isi daging di tangan kanan.
Hal yang tak menjadi perhatian manakala ia melakukan hal itu di luar bulan puasa. La ini bulan puasa dan entah mengapa hari-hari terakhir cuaca begitu panasnya.
Tak pelak tingkah laku bocah ini menimbulkan kegusaran di kalangan penduduk kampung. Namun mereka tak bisa berbuat apa-apa.
Apa pasal? Pernah ada yang mencoba menegurnya, tetapi orang itu mundur ketakutan.
Ketika dilarang, bocah itu mendengus dan matanya memberikan kilatan yang menyeramkan. Maka beredar di kalangan penduduk kampung kalau anak kecil itu "bocah jejadian!"
Sampai kemudian, Lukman, salah seorang pengurus masjid memberanikan diri untuk mencari tahu alasan si bocah melakukan "provokasi" di bulan suci itu.
Sehabis salat Zuhur, Lukman menunggu di depan masjid. Benar saja, tak seberapa lama si bocah muncul dengan es kelapa di tangan kiri dan roti di tangan kanan. Lukman pun lalu menegurnya.
Si bocah bukannya takut, malah mendelik hebat dan matanya melotot. Lukman sudah bertekad hati, makanya ia memberanikan diri untuk mencengkeram bahu si anak, sambil berkata, "Bismillah ...."
Tiba-tiba bocah itu agak luruh dan mau dibimbing menuju ke rumah Lukman yang tak jauh dari masjid. "Ada apa Bapak melarang saya meminum es kelapa dan menyantap roti isi daging ini? Bukankah ini kepunyaan saya?" tanya bocah itu sesampainya di rumah Lukman, seakan-akan tahu bahwa Lukman akan bertanya tentang kelakuannya. Matanya masih lekat menatap tajam pada Lukman. "Maaf, saya melarang itu karena kamu melakukannya di bulan puasa," jawab Lukman dengan halus. "Selain itu, bukankah kamu seharusnya berpuasa? Tapi mengapa malah menggoda orang dengan tingkahmu itu?"
Sebenarnya masih banyak unek-unek yang akan dikeluarkan Lukman. Akan tetapi, mendadak bocah itu berdiri sebelum Lukman selesai. Ia menatap Lukman lebih tajam lagi, dan tiba tiba berkata dengan lantang. "Itu 'kan yang kalian lakukan juga kepada kami semua! Bukankah kalian yang lebih sering melakukan hal ini ketimbang saya ...?! Kalian selalu mempertontonkan kemewahan ketika kami hidup di bawah garis kemiskinan pada sebelas bulan di luar bulan puasa. Bukankah kalian yang lebih sering melupakan kami yang kelaparan, dengan menimbun harta sebanyak-banyaknya dan melupakan kami? Bukankah kalian juga yang selalu tertawa dan melupakan kami yang sedang menangis? Bukankah kalian yang selalu berobat mahal bila sedikit saja terserang sakit, sementara kalian mendiamkan kami yang mengeluh kesakitan hingga kematian menjemput ajal? Bukankah juga di bulan puasa ini hanya pergeseran waktu saja bagi kalian untuk menahan lapar dan haus? Ketika bedug maghrib bertalu, ketika azan maghrib terdengar, kalian kembali pada kerakusan kalian…!?" bocah itu berbicara tanpa memberi kesempatan pada Lukman untuk menyela. Tiba-tiba suara bocah itu berubah. Kalau tadinya ia berkata begitu tegas dan terdengar "sangat" menusuk, kini ia bersuara lirih, menghiba. "Ketahuilah Pak, kami ini berpuasa tanpa ujung. Kami senantiasa berpuasa meski bukan waktunya bulan puasa, lantaran memang tidak ada makanan yang bisa kami makan. Sementara Tuan hanya berpuasa sepanjang siang saja. Dan ketahuilah juga, justru Bapak dan orang-orang di sekeliling Bapaklah yang menyakiti perasaan kami dengan berpakaian yang luar biasa mewahnya, lalu kalian sebut itu menyambut Ramadan dan Idulfitri? Bukankah kalian juga yang selalu berlebihan dalam mempersiapkan makanan yang luar biasa bervariasi banyaknya, segala rupa ada, lantas kalian menyebutnya dengan istilah menyambut Ramadan dan Idulfitri? "Pak ..., sebelas bulan kalian semua tertawa di saat kami menangis, bahkan pada bulan Ramadan pun hanya ada kepedulian yang seadanya. Pak, kalianlah yang melupakan kami, kalianlah yang menggoda kami, dua belas bulan tanpa terkecuali termasuk di bulan Ramadan ini. Apa yang telah saya lakukan adalah yang kalian lakukan juga terhadap orang-orang kecil seperti kami! Pak, sadarkah Bapak akan ketidakabadian harta? Sadarkah apa yang terjadi bila Bapak dan orang-orang sekeliling bapak tertawa sepanjang masa dan melupakan kami yang semestinya diingat?"
Lukman terpaku tanpa bisa berkata apa-apa. Bahkan ketika bocah itu berlalu tanpa Lukman bisa mencegahnya. Begitu juga dengan orang-orang yang berkerumun di seputaran rumah Lukman. Di kejauhan, Lukman melihat bocah itu menghilang bak ditelan Bumi. Bocah itu benar-benar misterius!
(Cerita ini terambil dari lamangroup Facebook IntisariOnline. Bukan cerita asli si penulis karena diambil dari sebuahmilis. Dari mana sumbernya, sepertinya tidak masalah.)