Bersyukurlah Untuk Setiap Karunia-Nya

Agus Surono

Editor

Bersyukurlah Untuk Setiap Karunia-Nya
Bersyukurlah Untuk Setiap Karunia-Nya

Intisari-Online.com - Hidup penuh misteri. Terkadang kita tidak tahu apa yang terbaik bagi jalan kita. Cerita di bawah ini semoga menyadarkan kita bahwa Tuhan pasti memberikan yang terbaik bagi kita. Aku membencinya. Sangat membencinya, dan itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampirsepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernahbenar-benar menyerahkan hatiku padanya. Aku memang menikah karena paksaanorangtua. Namun begitu aku tak tunjukkan kebencian itu kepada suamiku. Setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas seorangistri. Bisa jadi karena aku tak punya pegangan lain. Aku terbiasa taken for granted sebagai anak satu-satunya orangtuaku. Kedua orangtuaku menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosoksuami sempurna. Alhasil, di awal pernikahan kami, aku begitu manja dan suamiku pun memanjakanku. Aku berpikiran bahwa aku telah menyerahkan hidupkupadanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semuakeinginanku. Di rumah kami, akulah ratunya. Ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku taksuka perilakunya yang tak sesuai dengan keinginanku. Misalnya saja meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja danmeninggalkan bekas lengket,menggantung bajunya di kapstock bajuku, memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, ataumenghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senangdengan teman-temanku. Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja,tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupunber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitudalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu iamembiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dariempat bulan. Dokter pun menolak menggugurkan janin yang aku kandung. Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambahketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agaraku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan hal itu karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami. Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yangkedelapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir.Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa,dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak kesekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau peringatan ulangtahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikankata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya. Saat ituaku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yah, karena merasaterjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku. Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikutianak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anakmenggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskanpelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Iakembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan beratuntuk pergi. Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon milik sahabatku. Menghabiskanwaktu ke salon adalah hobiku. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orangyang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk salingmemamerkan kegiatan kami. Ketika mau membayar, aku terkejut karena dompetkutertinggal di rumah. Sambil berusaha mengingat-ingat apayang terjadi, aku menelepon suamikudan bertanya. “Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uangkecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ketasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanyamenjelaskan dengan lembut. Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpamenunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, ponselku kembaliberbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengahmembentak. “Apalagi??” “Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnyapadamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat, kuatir akumenutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggujawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengankasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membawa dompetku yang tertinggal.Pemilik salon sebenarnya sudah membolehkanku pergidan bisa membayar nanti waktu aku kembali lagi. Tapi aku merasa gengsi karena ada "musuhku" tadu. Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamikusegera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabarsehingga mulai menghubungi ponsel suamiku. Tak ada jawaban meskipunsudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kaliberdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak danmarah. Akhirnya telepon suamiku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suarabentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing di ujung sana. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itumemperkenalkan diri, “Selamat siang, Ibu. Apakah Ibu istri dari BapakArmandi?” Kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyataseorang polisi. Ia menyampaikan kabar bahwa suamiku mengalami kecelakaan dansaat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Aku terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup,aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat ponsel. Beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap begitu melihat wajahku menjadi pucat seputih kertas. Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimanajuga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yanghanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawatdarurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialahyang melakukan segalanya untukku. Tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar, seorangdokter keluar dan menyampaikan berita bahwa suamiku telah tiada. Iapergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, namun juga serangan stroke. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malahsibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Samasekali tak ada air mata setetes pun keluar di kedua mataku. Anak-anak memelukkudengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatkumenangis. Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, akutermangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benarmenatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dankupandangi dengan saksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringatapa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaankami. Kusentuh perlahan wajahnya. Inilahkali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasisenyum hangat. Airmata merebak di mataku, mengaburkan pandanganku. Akuterkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapanterakhirku padanya. Aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agarkenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannyaberhenti, air mataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatandari imam masjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatkuberhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesakmengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kamiberbicara. Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Akuhampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apayang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsiterutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absenmengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau akusedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena akutak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidakdisukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemarmi cepat saji dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena akutahu ia mungkin terpaksa makan mi cepat saji karena aku hampir takpernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan dirikusendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulangkerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Ia pun pulang larutmalam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku takpernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat kekantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku. Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketikamelihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Akutak tahu apa pun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Akuterbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa akubegitu terluka kehilangan dirinya. Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasanseperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalamkeinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduktermangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu, dan ibu mertuakumembujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukkumakan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuksaat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah Ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandiberharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali akutidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanyakebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamartidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya disebelahku. Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapisekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnyakembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidurkami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa.Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannyadi laptopku tanpa me-log out.Sekarang aku memandangi komputer,mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal disana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring dimeja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapuntidak mau kuhapus. Remote control televisi yang biasa disembunyikannya,sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa menggantikehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukankarena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkenapanah cintanya. Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatannormal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunyamasih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marahkarena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena takada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkankusalat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku salat karena akuingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakansuami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadiistri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Salatlah yangmampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padakuditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukkudan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir takpernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku. Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untukbangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan haruskuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beresdan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli. Yang kupedulikan hanyajumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untukkeperluan pribadi dan habis tanpa sisa setiap bulan. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir besertakompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka. Ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahalaku tak pernah sedikit pun menggunakan untuk keperluan rumah tangga.Entah dari mana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga karena aku tak pernah bertanya. Yang aku tahusekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karenajumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untukmenghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernahpunya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia. Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersamaseorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notarismemberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskanseluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalamsurat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apa pun adalah isisuratnya untukku. Ia ternyata telah menyiapkan segalanya ketika harus "pergi" duluan. Termasuk soal keuangan. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapaasuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya.Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebutdan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin olehorang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahuibetapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya iatetap membanjiri kami dengan cinta. Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yanghadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalamhatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketikaorangtuaku dan mertuaku pergi satu per satu meninggalkankuselama-lamanya, tak satu pun meninggalkan kesedihan sedalamkesedihanku saat suamiku pergi. Kini kedua putra putriku berusia dua puluh tiga tahun. Dua hari lagiputriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kamibertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri,soalnya Farah 'kan enggak bisa masak, enggak bisa mencuci, Bagaimana ya Bu?” Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu,cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akanmendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkanhatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwasebesar apa pun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas namacinta.” Putriku menatapku, “Seperti cinta Ibu untuk Ayah? Cinta itukah yangmembuat Ibu tetap setia pada Ayah sampai sekarang?” Aku menggeleng, “Bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti Ayahmencintai Ibu dulu, seperti Ayah mencintai kalian berdua. Ibu setiapada Ayah karena cinta Ayah yang begitu besar pada Ibu dan kalianberdua.” Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku padasuamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapimenghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Akubebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas daricintanya yang begitu tulus. (http://bundaiin.blogdetik.com)

Artikel Terkait