Mendengarkan Suara Hati

K. Tatik Wardayati

Editor

Mendengarkan Suara Hati
Mendengarkan Suara Hati

Intisari-Online.com – Mana yang paling mudah dilakukan; bicara atau mendengar? Bagi sebagian orang, dua hal itu mampu mereka lakukan sama baiknya. Sementara sebagian yang lain tidak. Yang satu mengaku, lebih senang berbicara daripada mendengar. Baginya ngomong berjam-jam itu gampang, tapi mendengarkan itu melelahkan dan menyiksa diri. Yang lain lebih suka mendengarkan, meski harus memiliki kesabaran tinggi. Maklum, ia selalu takut keliru bicara atau khawatir omongannya disalahartikan.

Sejarah peradaban memberi kita banyak guru untuk belajar dan mengartikan apa itu mendengar. Leslie H. Farber, psikolog terkenal dari AS yang bukunya menjadi kajian dunia ilmu psikologi terapan selama puluhan tahun, The Ways of The Will, punya pandangan menarik. Bagi Farber, mendengar itu tidak hanya berarti mengunci mulut, lantaran menyimak objek yang didengarkan. Mendengar menuntut sesuatu yang lebih. Yakni kemampuan untuk mengikuti secara imaginatif sekaligus mengenal adanya ”bahasa” lain. Sesungguhnya dalam aktivitas mendengar itu kita bicara dalam kata-kata yang lain. Bagaimana kita bisa mengartikan ”makan” tapi bukan karena ”lapar”; ”going to bed” tapi bukan ”sleeping”; ”membaca” tapi tidak untuk ”memahami”; ”religius” tapi bukan ”agama”.

Guru lain yakni J. Krishnamurti menyatakan hal yang tidak jauh berbeda. Apabila kita memperhatikan omongan seseorang dengan saksama, maka kita tidak hanya mendengar kata dan kalimat yang terucap melainkan juga perasaan dan pesan yang dibawa lewat kalimat-kalimat tersebut.

Selain itu kita pun layak belajar pada mantan aktor populer, Christopher ”Superman” Reeve. Meski menderita lumpuh akibat kecelakaan jatuh dari kuda, sampai akhir hayatnya Reeve tetap berjuang agar hidupnya tetap punya arti buat masyarakat. Coba dengar apa pesannya dalam menjalani hidup, ”Kita semua memiliki suara hati yang akan berbicara bila diberi kesempatan. Terkadang suara itu mudah didengar, meski tak jarang harus mengecilkan volume suara-suara di sekitar yang mengganggu. Suara itu akan memberitahu apakah hidup kita sudah di jalur yang benar. Mengingatkan apakah selama ini kita sudah ’memberi’ sama banyaknya dengan jumlah yang kita ’ambil’. Apakah selama ini kita mau mendengarkan orang lain, menerima perbedaan pendapat bahkan ketika pendapat itu tidak bisa kita jalani.” Terserah kepada siapa kita akan berguru. Toh, tak ada guru yang akan mencelakakan murid. (Intisari)

Artikel Terkait