Intisari-Online.com – Ada seorang pertapa yang sangat saleh turun ke kota untuk memenuhi undangan gubernur. Hari itu ada perayaan meriah karena keberhasilan rakyat kota mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi. Di tengah jalan pertapa sering berhenti karena banyak orang menyambut kedatangannya.
“Guru, lihat betapa bahagianya aku. Kalau dihitung, gaji harianku mungkin sama hasilnya dengan tukang becak yang bekerja selama seminggu,” kata seorang pejabat teras.
“Guru, betapa bahagianya aku hari ini karena mendapa uang tarikan yang lumayan. Saudaraku yang mencari puntung rokok tak seberapa hasilnya kalau dibandingkan dengan hasil jerih payahku,” kata tukang becak sambil menghitung uang.
“Guru, aku bahagia. Hari ini aku mendapat hasil yang berlimpah sementara pengemis tua itu hanya mendapatkan dua bungkus nasi walau ia telah berkeliling mengitari tokok-toko,” kata pemulung.
“Guru, aku bahagia karena hari ini telah mendapat nasi dua bungkus sementara saudara-saudaraku yang lain kelaparan,” kata pengemis sambil memperlihatkan perutnya.
Pertapa itu pun berlalu dan pulang dengan berlinangan air mata.
Bahagia di atas penderitaan orang lain. Bukankah itu sama dengan berharap agar orang lain tetap menderita sehingga kita tampak bahagia?