Konsisten, Walau Anak Merengek

Agus Surono

Editor

Konsisten, Walau Anak Merengek
Konsisten, Walau Anak Merengek

Pada anak-anak, perilaku buruk pada batas tertentu itu normal. Ketika Anda meresponsnya secara konsisten, perilaku buruk tersebut akan berkurang. Ketika Anda meresponsnya secara tidak konsisten, perilaku tersebut justru akan meningkat. Begitulah kenyataannya.

Konsistensi merupakan ekspresi cinta dan kepedulian. Namun, proses untuk menjadi konsisten itu bisa membuat Anda "pusing tujuh keliling". Kok bisa? Saya punya cerita dari sebuah insiden.

Suatu sore, kami berempat pergi ke restoran McDonalds. Meski bukan tempat makan favorit, kami punya kebiasaan setelah makan burger lalu memesan es krim. Seperti biasa Ria memesan cheese burger dan kentang goreng. Dengan alasan tertentu, Ria ingin ke area bermain yang ada di restoran itu, baru kemudian makan. Kami mengingatkan beberapa hal seperti biasanya. Dia tampaknya kurang berselera makan, karena hanya menggigit burgernya sedikit demi sedikit. Padahal, yang lain sudah hampir selesai melahapnya.

Melihat gelagat dia tidak bisa menuntaskan makanan itu, saya mengambilnya separuh. "Kamu harus makan separuh burger ini sebelum mengambil es krim. Kalau kamu tidak memakannya, kamu tidak boleh makan es krim." Ria setuju dan terus memandangi tempat bermain, tidak makan. Tak lama kemudian, waktu yang sudah ditentukan tiba. Saatnya kami memakan es krim.

Meskipun belum menghabiskan makanannya, Ria tetap berperilaku baik. Kami langsung membayangkan situasi yang bakal terjadi ketika dia tidak mendapatkan es krimnya. Seperti orangtua lainnya, wajarlah kalau kami juga membayangkan bagaimana malunya kami nanti kalau Ria marah gara-gara tak mendapat es krim. Apalagi di depan umum. Memikirkan hal itu, kadang kita menyerah, memaklumi saja. Jangan menyerah pada bayangan-bayangan semacam itu.

Kalau tak mau makan, tak ada es krim, begitulah yang saya tegaskan pada anak saya. Konsistensi lebih penting daripada air mata dan rasa malu. Pilihan kita bukanlah "apa" yang harus dilakukan, tapi "bagaimana" melakukannya. Kami memutuskan bahwa ayah dan Ricky akan membeli tiga cone es krim dan menunggu kami di pintu keluar. Saya akan tinggal bersama Ria dan memberinya kesempatan lagi untuk makan makanannya, bukan karena dia masih bisa mendapatkan es krimnya. Sebenarnya sudah terlampau lama. Saya tetap meminta dia menghabiskan makan malamnya. Batas waktu untuk mendapatkan es krim sudah terlampaui.

Setelah beberapa menit, saya katakan pada Ria kita pulang. Dia bertanya apakah dia bisa mendapatkan es krimnya sekarang. Saya bilang, "Tidak, kamu tidak menghabiskan makan malammu." "Aku akan memakannya sekarang, Bu," dia memohon. Lalu dia melihat tiga cone es krim, bukannya empat. Dengan lembut saya jelaskan, "Kami bertiga telah menghabiskan burger, makanya kami bisa makan es krim." Dia kecewa. Tangis pun tak terbendung.

Ketika saya tarik putri saya yang menangis keras melewati keramaian di McDonalds, saya merasa tak karuan. Memalukan. Orang-orang di sekitar pasti bertanya-tanya dalam hati. Saya pun ingin menjelaskan (dalam hati), "Enggak apa-apa, saya hanya ingin konsisten."

Ria menangis dan terus meminta es krim di sepanjang perjalanan pulang. Dia bilang akan memakan burgernya kalau diberi kesempatan lagi. Memang tampak sedih sekali, sementara kami bertiga menikmati es krim. Ricky ingin memberinya sebagian. Itulah pertama kalinya dalam hidup saya tidak merasa nikmat makan es krim. Saya ingin membuka jendela mobil dan membuangnya ke luar. Kami menyayangi Ria, sehingga sangat sedih melihat dia menangis.

Kadang-kadang mengatakan tidak dan bersikap konsisten tidaklah mudah. Bisa menyakitkan. Seharusnya akan lebih mudah bagi kami untuk membelikan Ria es krim, dan tidak harus melewati segala rasa malu dan hal-hal yang menyakitkan. Tapi kami tidak melakukannya. Kami tahu, bersikap konsisten itu lebih penting.

Kami ingin Ria (dan secara tidak langsung Ricky juga) belajar bahwa ayah dan ibunya serius dengan apa yang dikatakannya, kendati hal itu tidak menyenangkan. Kamu harus melakukan apa yang diminta, walaupun di tempat umum.

Sekitar sebulan kemudian, kami pergi lagi ke McDonalds. Kami ingin melihat apakah upaya kami membuahkan hasil. Ria makan dengan pamrih. Kadang-kadang dia berhenti sebentar dan mengatakan, "Aku akan menyelesaikan cheese burger-ku." Ketika pelayan mengantarkan es krimnya, itu sangat menghibur. Ria gembira dan bangga akan dirinya. Kami tahu bahwa pengalaman yang menyakitkan kini telah membawa hasil.

Sedikit pun jangan biarkan perilaku buruk terjadi. Bila dibiarkan, ia bisa berkembang menjadi masalah besar. Untuk persoalan Ria, kami lebih memikirkan masa depan dia ketimbang saat ini. Kami menginginkan Ria (dan juga Ricky) tahu bahwa dia harus makan malam untuk saat ini, dan seterusnya.

Persoalan timbul biasanya karena kebanyakan orangtua tidak konsisten. Kita mengatakannya dengan serius. Kita bilang "tidak" tapi kemudian "ya". Kita tidak meneruskannya. Dengan sedikit rengekan, sebagian besar dari kita mengubah "tidak" menjadi"ya", dan itulah yang dikehendaki oleh anak-anak untuk meraih keinginannya. Suatu saat kita sedikit membiarkan perilaku buruk terjadi, tapi di saat yang lain kita sama sekali melarangnya.