Intisari-Online.com – Aku seorang remaja. Remaja yang sedang memulai bersosialisasi dengan orang lain. Maka aku bertanya pada diriku sendiri, apakah aku punya masalah dalam bersosialisasi dengan teman-teman? Ternyata jawaban yang kudapat jelas dan tegas: “ya, aku punya masalah”. Masalah apakah itu? “Minder, ya aku merasa minder dengan teman-temanku.” Minder, itulah yang aku rasakan. Walau bukan satu-satunya, menurutku rasa minder itu menjadi salah satu penyebab kegagalan dalam bersosialisasi.
Aku mengalami rasa minder berlebihan. Karenanya aku banyak mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dengan orang lain. Aku membutuhkan banyak waktu untuk mengenali teman-teman agar aku bisa aktif dan berani tampil di depan mereka. Akan tetapi, meskipun aku sudah lama berada di antara teman-teman, ternyata rasa minder itu tidak serta merta hilang. Rasa minder itu hanya bersembunyi sebentar. Ketika harus berhadapan dengan hal yang baru, rasa minder itu muncul kembali.
Masih segar dalam ingatanku salah satu rasa minder yang aku alami. Saat itu tahun pertama aku tinggal di asrama. Ketika aku mengamati teman-teman seangkatanku, aku merasa sangat minder. Aku merasa diri selalu kurang jika dibandingkan dengan mereka. Teman-temanku tampak selalu lebih unggul. Padahal, kalau kuperhatikan, kenyataannya tidak selalu demikian. Tetapi kenapa aku tetap merasa kalah? Kondisi seperti itulah yang membuat aku hanya bergaul dengan teman-teman yang bisa ngemong (memahami) aku. Maka pergaulanku cenderung eksklusif. Seiring berjalannya waktu perlahan-lahan aku mulai terbiasa dengan teman-teman seangkatan itu. Rasa minder itu pun lambat-laun tertutupi. Aku mulai menjadi lebih percaya diri saat tampil di hadapan teman-teman. Aku juga mulai memiliki lebih banyak teman dibanding sebelumnya.
Namun, hal ini tak bertahan lama. Ketika teman-teman mulai bersosialisasi dengan kakak-kakak kelas, rasa minderku pun muncul lagi. Ketika harus berhadapan dengan kakak kelas, aku menjadi rendah diri lagi. Pada saat-saat seperti itu aku merasa diri tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mereka. Merka jauh lebih sempurna. Memang, seiring berjalannya waktu, rasa minder itu tertutup kembali. Namun, sekali lagi, ini terjadi hanya karena aku sudah terbiasa dengan lingkungan yang ada. Ketika berhadapan dengan hal-hal atau situasi yang baru, rasa minder itu akan muncul lagi. Demikian seterusnya, rasa minder itu selalu datang dan pergi, seolah-olah memang sudah berurat berakar dalam diriku.
Saat ini pun kadang-kadang rasa minder itu masih muncul dalam diriku. Bedanya, kini aku lebih bisa mengendalikan perasaan itu sehingga tidak begitu menguasai aku seperti dulu. ‘Mencoba enjoy dengan keadaan’ itulah trik yang aku gunakan setiap kali perasaan itu muncul. Trik itu kutemukan sendiri lewat pengalaman yang selama ini aku alami. Lewat pengalaman-pengalaman itu aku mencoba merefleksi diri dan kudapatkan trik itu. Selain itu, untuk mengalahkan rasa minder aku juga dibandu oleh pembimbingku di asrama.
Aku diajak oleh pembimbingku untuk berproses bersama dengan beliau. Salah satu alternatif yang ditawarkan kepadaku adalah mencoba melihat masa lalu dan mencari berbagai kejadian yang barangkali menjadi penyebab munculnya rasa minder itu. Memang benar, ternyata tawaran itu tidak sia-sia. Berkat cara itu aku memahami penyebab munculnya rasa minder itu. Benih-benih rasa minder itu muncul ketika aku masih kecil. Tepatnya ketika masih berada dalam keluargaku. Saat aku masih kecil, dalam keluarga ada pola komunikasi yang kini aku rasakan kurang pas. Pola komunikasi macam apakah itu?
Semasa kecil, orangtuaku memang lebih menekankan pola komunikasi dengan banyak mengatakan ‘jangan begini….’ dan ‘jangan begitu….’. Mereka mengatur apa saja yang harus aku lakukan. Hampir semua yang aku lakukan harus diketahui dan disetujui orangtua. Kiranya inilah yang menjadikan aku kurang mandiri. Aku menjadi tergantung pada orang lain. Akibatnya aku beranggapan bahwa orang lain lebih sempurna daripada aku. Mereka bisa memimpin, sedangkan aku tidak! Sebagai orang yang ‘lemah’ aku merasa harus menurut dan mengikuti mereka yang lebih ‘kuat’.
Setelah mengetahui penyebab rasa minder itu, aku pun melakukan upaya penyadaran diri. Aku mulai mencoba untuk berdamai dengan masa laluku. Aku mulai memperbaiki pola pikirku. Aku menyugesti diri dengan berbagai macam pikiran positif, sehingga akhirnya mulai menyadari bahwa sungguh berhargalah diriku. Aku ini sama dengan orang lain, hanya saja saat ini belum mengembangkan diri secara optimal. Aku merasa bisa mengembangkannya, maka saya ingin terus mengembangkan diriku. Aku ingin benar-benar menjadi pribadi yang seharusnya: pribadi dewasa tanpa rasa minder. Aku mau maka aku bisa! (Ssst…! OrtukuKolot!)