Intisari-Online.com – Tidak seperti biasanya, kali ini saya pulang kantor harus naik beberapa kali angkutan. Saya mendapatkan sedikit kenyamanan dengan duduk di bangku depan. Ketika kondektur meminta ongkos, saya mengeluarkan selembar uang lima ribuan. Berharap uang kembalian seribu rupiah, tapi kondektur tidak memberikannya.
Ketika itu saya berharap sang kondektur mengatakan, “Nanti ya Mbak kembaliannya.” Tapi ia tidak mengatakan apa pun, bahkan terkesan cuek. Kondektur kembali mencari penumpang dengan menyebutkan jurusan trayek angkutan kota ini.
Meskipun hanya seribu rupiah, rasanya saya gelisah sekali, tetap berharap kondektur itu mengembalikan sisa uangnya. Ketika saya tanyakan, kondektur itu diam saja, tak menjawab sepatah kata pun. Hingga akhirnya kondektur berkeliling menagih ongkos penumpang lain, ia mencolek saya dan mengatakan, “Mbak, bentar ya kembaliannya, gak ada recehan.” Saya mengangguk.
Entah kenapa, tiba-tiba saya menjadi tenang, tidak lagi gelisah. Setelah itu saya menyandarkan punggung dan kepala, lalu mulai tertidur. Kemudian lupa kalau saya masih punya seribu rupiah di tangan kondektur itu. Bahkan, tidak peduli lagi. Terbangun ketika kondektur itu mencolek saya dan mengembalikan uang seribu rupiah.
Rupanya saya sedikit menuntut kejujuran kondektur itu. Saya pikir kondektur itu lupa. Bukan karena nilai uang yang hanya seribu rupiah, tapi seandainya sejak awal kondektur itu mengatakan bahwa tidak ada recehan, saya bisa menerima alasannya.
Kita selalu menuntut orang lain untuk jujur. Tapi apakah kita sendiri sudah jujur pada orang lain? Apakah kita juga sudah jujur pada diri sendiri? Saya harus menelisik lebih dalam kembali pada diri saya untuk menjawab pertanyaan itu.