Intisari-Online.com - Pada suatu hari, Pak Suwarta, seorang pengusaha kaya raya mengajak putranya yang berusia tujuh tahun untuk berlibur dan menginap di sebuah desa selama beberapa hari. Desa itu adalah kampung halaman Pak Suwarta, tempat ia tinggal bersama orangtuanya sampai saat dirinya memutuskan merantau ke kota besar dan akhirnya meraih kesuksesan.
Pak Suwarta memang tidak datang dari keluarga kaya raya. Kampung halamannya sangat sederhana dan penduduknya kebanyakan berprofesi sebagai petani. Tujuan Pak Suwarta sesungguhnya membawa putranya itu berlibur ke desa adalah agar si buah hati dapat melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana susahnya ia dulu harus hidup sebagai orang miskin, tak seperti yang dialami putranya kini.
Selama seminggu penuh Pak Suwarta dan putranya tinggal di desa. Mereka tinggal dan menumpang tidur di rumah Pak Karto, sahabat Pak Suwarta semasa kecil. Rumah Pak Karto sangat sederhana; berdinding papan, berlantai semen, dan tidak berpagar. Sekitar 10 meter di belakang rumah itu terdapat sungai kecil yang mengalir dengan airnya yang jernih. Sungai itu adalah sungai yang sama yang digunakan Pak Suwarta berenang dan bermain air 30 tahun yang lalu. Sementara itu, di depan rumah Pak Karto terbentang tanah lapang yang luas, tempat anak-anak petani bermain layangan serta menggembalakan ternak.
Tak terasa, seminggu telah berlalu. Pak Suwarta dan putranya pun harus kembali ke kota. Dalam perjalanan pulang sembari mengemudikan mobilnya, Pak Suwarta melontarkan pertanyaan kepada putranya, “Bagaimana Nak, setelah seminggu menginap di desa, apa saja yang kamu lihat dan dapatkan tentang keadaan di sana?”
Dalam hati Pak Suwarta berharap si anak bisa melihat betapa sulitnya kehidupan yang harus dijalani orang-orang miskin di desa.
Si anak pun menjawab, “Wah, luar biasa, Pa! Kolam renang kita di rumah kecil dan harus dibersihkan sekali-sekali. Kolam renang mereka panjaaaang sekali dan airnya terus mengalir.” Sang anak pun melanjutkan, “Halaman rumah kita sempit dan tak bisa melihat apa-apa karena ada pagar tembok yang menjulang. Halaman rumah mereka luaaasss sekali sejauh mata memandang dan bisa pula dipakai bermain layang-layang.” “Kita harus mengantre panjang di supermarket untuk membawa pulang buah-buahan dan sayuran, sementara mereka tinggal mengambil saja dari kebun. Gratis, enggak bayar!” tambah si anak berbinar-binar.
Dengan bersemangat, sang anak meneruskan omongannya, “Setiap hari Papa harus pergi ke kantor seharian sampai malam, sementara Pak Karto bisa bermain-main dengan anaknya setiap sore. Kita harus pergi ke kebun binatang kalau mau naik hewan. Sementara anak Pak Karto bisa naik kerbau maupun kuda setiap hari, enggak pake bayar!” serunya lagi.
Mendengar semua penjelasan itu keluar dari mulut putranya, Pak Suwarta hanya bisa terdiam. Ia tetap mengemudi mobilnya tanpa merespon kembali perkataan anaknya. Ternyata, orang-orang yang kita anggap miskin tak selalu miskin dalam hal lain. Sebaliknya, orang-orang yang kita persepsikan sebagai kaya juga tak selalu kaya dalam berbagai aspek lain dari hidupnya. (ceritainspirasi.net)