Jangan Anggap Remeh Tukang Ojek

Yustantiana

Editor

Jangan Anggap Remeh Tukang Ojek
Jangan Anggap Remeh Tukang Ojek

Intisari-Online.com - Kalian tahu 'kan profesi tukang ojek? Tukang ojek yang sangat mengandalkan motor sebagai mata pencahariannya. Tukang ojek yang seringkali kita temui mangkal di depan gang jalan. Tukang ojek yang mengenakan jaket lusuh dengan helm seadanya.

Tukang ojek yang setia membujuk kita agar mau menaiki motornya demi selembar rupiah. Tukang ojek yang kerapkali kita kucilkan karena keberadaannya dianggap sebagai masyarakat kecil kelas bawah.

Semua jawaban di atas benar adanya. Tukang ojek itu bagian kecil dari kehidupan bermasyarakat kita dan seringkali kita anggap sepele. Terkadang di antara kita, termasuk saya, adalah orang-orang yang “tidak bersahabat” dengan tukang ojek.

(Baca juga:Membicarakan Klender Mengingat Haji Darip, Jawara Lokal yang Begitu Menakutkan bagi Tentara Kolonial Belanda)

Sikap seperti ini ditunjukkan oleh kita sebagai orang luar dunia perojekan, bukan tanpa alasan. Namun bisa jadi karena pengalaman tidak menyenangkan bersama tukang ojek dan motornya.

Sewaktu kuliah, saya terpaksa harus mengeluarkan uang lebih akibat kelakuan tukang ojek yang tidak rela dibayar murah. Waktu itu, tarif ojek normal dari depan Ciseke – nama desa kecil tempat saya tinggal di Jatinangor – ke kampus adalah Rp2 ribu.

Saya tidak punya uang nominal Rp1.000 sebanyak dua lembar (saat itu belum ada uang dengan nominal Rp2.000 seperti sekarang). Yang tersisa di dompet saya, dan satu-satunya lembaran rupiah yang saya punya, adalah Rp5.000.

Kondisi saya sedang dalam keadaan terburu-buru karena harus menempuh Ujian Akhir Semester (UAS). Saya ujian pukul 14.00. Sementara hari sudah menunjukkan pukul 14.10

Jadilah saya menggunakan ojek sebagai alternatif tercepat menuju kampus. Kondisi panik dirasa semakin parah dengan matahari yang tidak malu-malu memancarkan sinarnya.

Si tukang ojek yang masih berumur tiga puluhan mengantarkan saya menggunakan motornya dengan laju kencang. Helm yang saya kenakan tanpa pengikat hampir saja lepas disapu angin saking kencangnya.

Sesampainya di tempat tujuan, saya menyerahkan selembar uang lima ribuan, dengan harapan ia mengembalikan uang senilai tiga ribu rupiah. Namun, bukannya mengembalikan kelebihan uang tersebut, si tukang ojek malah melengos pergi begitu saja.

Umpat kesal rasanya ingin saya keluarkan saat itu juga. Sejak saat itu, keberadaan tukang ojek sangat menggangu, walaupun jasanya sering saya gunakan di saat-saat mendesak.

Rasa skeptis tentang tukang ojek berlangsung cukup lama. Hingga dua kejadian penting tentang dunia perojekan mengingatkan saya bahwa semua yang tercipta di dunia ini pastilah ada gunanya.

(Baca juga:Alhamdulillah Anakku Lanang dan Nama-nama Unik di Indonesia Lainnya: Dari Tuhan, Saiton, hingga Es Bon Bon)

Pada suatu pagi, dengan kondisi terburu-buru, saya hendak pergi ke arah kota. Kantor saya terletak di kawasan padat kendaraan. Ojek tentunya bukan pilihan utama buat saya karena taksi masih berseliweran bebas di jam-jam sibuk seperti ini.

Untuk menuju kota, sudah pasti saya memilih taksi. Selain lebih nyaman, toh ongkos transport dibiayai oleh kantor. Saya harus berjalan sejauh dua ratus meter untuk menuju jalan raya tempat taksi lalu lalang. Saya berdoa mudah-mudahan tidak harus berjalan sejauh itu dengan harapan taksi kosong akan segera datang menghampiri. Di antara perjalanan itu, saya harus melewati tukang ojek.

Seperti biasa, tukang ojek memanggil saya dengan sebutan “Neng” sambil bersiul-siul pertanda menggoda. “Neng, ojek Neng. Aduuuh, Neng, cantik-cantik kok jutek,” goda si tukang ojek. Digoda seperti itu, tentu saja saya dongkol! Di dalam hati saya mencaci maki si tukang ojek.

Saya terus berjalan sambil sesekali menoleh ke arah belakang, berharap taksi akan segera datang. Beberapa kali taksi lewat, namun sudah terisi penumpang.

Lampu taksi pertanda ada atau tidaknya penumpang tidak begitu jelas terlihat karena kalah dengan terik matahari yang menyilaukan mata. Saya jadi asal memberi aba-aba stop dengan melambaikan tangan pada setiap taksi yang lewat.

Tiba-tiba si tukang ojek yang tadi menggoda berteriak memanggil, “Neng, Neng, tuh taksi kosong Neng!” Saya tak acuh. Ini pasti bualannya saja untuk terus menggoda saya.

Langkah saya semakin menjauh. Rupanya usaha si tukang ojek tak henti jua memanggil saya. Kali ini sambil bertepuk tangan. “Neng, Neng, itu ada taksi yang baru keluar Neng. Kosong!”

Saya sangsi. Apa benar ada taksi kosong di belakang saya?

Ketika saya menoleh ke belakang, bukan main kagetnya. Si tukang ojek berusaha menyetop taksi itu sambil tetap memanggil-manggil saya! Tangannya dilambaikan, lalu mengarahkan taksi kepada saya. “Ke situ Pak!” teriaknya memberi aba-aba pada supir taksi.

Taksi pun datang menghampiri. Saya segera membuka pintu mobil taksi, seraya tersenyum hambar pada si tukang ojek di kejauhan sana.

Sambil setengah berteriak, “Terima kasih ya, Pak!” Saking malunya, saya tidak berani lagi menatap ekspresi si tukang ojek nan baik hati sambil buru-buru masuk ke dalam mobil. Mungkin, anggapan saya selama ini salah tentang dunia perojekan, hanya karena kebaikan bapak tadi.

Bila kita telanjur tidak suka pada sesuatu, pasti apa pun yang berkaitan dengan sesuatu itu, tidak kita suka juga. Saking tidak sukanya pada sesuatu tersebut, terkadang butuh waktu lama untuk mengubah cara berpikir kita menjadi suka, atau setidaknya netral.

Begitu pula dengan saya. Pengalaman bertemu dengan tukang ojek yang susah payah menyetop taksi hanya untuk saya, tidak lantas membuat saya menjadi sedikit menghargai pekerjaan itu. Atau setidaknya saya tidak menganggap sepele keberadaan mereka.

Apalagi di Jakarta yang super duper macet ini. Alternatif menggunakan sepeda motor merupakan pilihan yang paling tepat untuk menyalip ribuan mobil yang malang melintang di jalan raya.

Namun bagaimana dengan orang-orang seperti saya yang jangankan memiliki, menggunakan sepeda motor saja tidak bisa! Jadilah mau tidak mau, saya harus menggunakan jasa tukang ojek.

Setiap pagi, saya berjalan kaki menuju ke kantor. Sebisa mungkin saya menghindari ojek motor. Hanya kalau sedang repot, seperti hari ini, mau tidak mau saya harus menggunakan jasa mereka. Tentengan kamera dan laptop terlalu berat untuk saya bawa dengan berjalan kaki.

Dalam berhubungan dengan orang tentang pekerjaan, saya berusaha bersikap profesional. Sekalipun orang yang saya hadapi kali ini adalah tukang ojek. Untungnya, tukang ojek di depan gang rumah saya tidak menyebalkan.

Mereka mengantarkan para pelanggannya dengan selamat sampai tujuan, tanpa banyak menggoda, dan tanpa berbasa-basi. Bagus. Satu nilai untuk mereka - para penjual jasa ojek.

(Baca juga:7 Tips Naik Gerbong Wanita Commuter Line yang Disebut Lebih "Ganas" Dibanding Gerbong Campur)

Penilaian saya tentang mereka bertambah lagi, karena saya bertemu dengan tukang ojek yang profesional sekali! Saya beruntung, saat sedang kerepotan seperti ini, saya kebagian tukang ojek yang cekatan, hati-hati, dan tidak banyak bicara.

Ia langsung menawarkan bantuan untuk meletakkan tentengan tas kamera saya di bagian depan jok motor. Ia juga melafaskan basmallah sebelum mengantarkan saya pergi. Subhanallah ... baru kali ini saya mendengar tukang ojek mengucapkan kata itu, setidaknya, itu pertanda bahwa ia masih mengingat Allah.

Kekaguman saya pada lelaki berusia 40-an ini bertambah ketika ia mengendarai sepeda motor. Tidak ngebut, tidak juga pelan - stabil. Ia menjaga jarak dengan kendaraan di depannya. Ia tidak mengerem mendadak, apalagi main salip seenaknya.

Siapa pun yang jadi pelanggannya pasti menyukai cara si Bapak setengah baya ini mengendarai motor. Satu lagi, ia memberikan helm yang bagus. Istilahnya, yang berlabel SNI.

Tidak seperti tukang ojek lainnya yang memberikan helm dengan kondisi mengenaskan pada pelanggannya, yang helm sepeda atau tanpa tali pengikat. Bahkan seringkali tidak menawarkan helm sama sekali.

Perjalanan saya dengan menggunakan jasa tukang ojek menjadi perjalanan paling indah pagi itu. Saat itu pula, mindset saya tentang pekerjaan yang sebenarnya mulia itu berangsur-angsur berubah.

Bahwa apa yang kita lihat sebagian, belum tentu berlaku untuk seluruhnya. Bahwa “serendah” apa pun sebuah profesi, pastilah ada manfaatnya buat keseharian kita. Bahwa mereka, para tukang ojek, sangat membantu kita di saat-saat sulit.

Bahwa ... masih banyak di luar sana, saya yakin – dan saya berharap Anda mengamini – tukang ojek nan baik hati. Yang siap menolong kita.