Intisari-Online.com – Pada usia muda dia sudah selesai dengan pendidikannya. Memang dia orang pintar, rajin, dan tekun. Banyak orang meramalkan masa depan hidupnya akan gemilang dan sukses. Memang demikian adanya. Dia mendapat suatu pekerjaan yang menarik dan menggiurkan. Ia menjadi direktur muda suatu perusahaan besar. Kembali dia bekerja siang dan malam. Dia memeras otak dan tenaga. Perusahaan itu pun maju dan dapat mengalahkan banyak saingan.
Untung, di tengah-tengah segala kesibukan dan perhitungan, dia masih sempat menikah dengan seorang gadis yang cantik, gesit, dan kreatif. Mereka dikaruniai dua putri dan satu putra. Tampaknya keluarga bahagia dan sukses tampak di depannya. Bertahun-tahun dia bekerja dan berpikir demi maju usahanya dan keluarganya. Terjadi modernisasi di perusahaan, terjadi direktur muda menjadi direktur malahan pemilik. Terjadilah bahwa rumah menjadi semakin mewah dan anak-anak semakin besar.
Hidupnya bagaikan pesta yang sukses, yang dikunjungi dan dikagumi banyak orang. Sampai pada suatu saat, entah mengapa, tiba-tiba dia merasa hidupnya kosong, dia menjadi takut, dia menjadi lesu dan semangatnya habis. Dia yang tadinya begitu pandai mengatur segala-galanya kini seakan-akan lumpuh, kehabisan tenaga, ide, dan gairah . Seakan-akan listrik dalam hidupnya mati. Berkat dukungan dan dorongan keluarga dia dibawa ke luar negeri, mencari pengobatan. Dari dokter spesialis sampai kepada psikolog, malahan psikiater. Diperiksa, dipindai, diwawancarai, dan ternyata semuanya sehat. Tentu senang dinyatakan sehat tetapi dia tetap tanpa gairah, susah tidur, gelisah, dan loyo. Apa yang terjadi dalam hidupnya?
Dalam segala kebingungan dia dibawa ke suatu tempat doa. Di sana, untuk pertama kalinya, dia yang gagah, dia yang bisa segala-galanya ini berlutut, dan berdoa. Sesudah selesai berdoa, ia menemui rohaniwan. Ia menceritakan keadaan hidupnya, keberhasilan, dan kegagalannya, baik dalam perusahaan maupun dalam keluarganya. Rohaniwan yang bijaksana dengan segudang pengalaman, mengatakan, "Bapak, penyakitmu hanya satu: Kau kehabisan 'cairan'. Kau terlalu memforsir dan hanya percaya pada kemampuan manusia sendiri saja. Kau lupa mengisi tempayan hidupmu, kau lupa berharap, berdoa, dan menimba kekuatan pada Tuhan."
Kini, dia telah berbalik, menyesal, dan mengakui keangkuhannya. Syukurlah Allah itu maha setia, maha pengampun. Dia bisa bangkit, dia bisa lagi berpikir dan tertawa. Hanya saja kali ini hidupnya terisi dengan bersyukur kepada Tuhan yang mengubah air hidup yang keruh menjadi jernih, semangat, dan kehangatan hidupnya. Ia tidak lagi disebut yang kesepian atau yang ditinggalkan. Dia mewartakan di mana-mana, jangan membangun hidupmu di atas kekuatan sendiri atau dunia, melainkan bangunlah hidupmu di atas kehadiran Allah. Dengan hanya mengandalkan kekuatan sendiri, kita akan mengalami kesepian dan kegagalan. Maka, undanglah dan dengarkanlah selalu Allah pada pesta kehidupanmu. (Hidup Untuk Menghidupkan)