Intisari-Online.com – Ada sepasang suami istri muda. Mereka ragu-ragu untuk melahirkan keturunan atau anak-anak. Alasannya, mereka merasa bahwa dunia ini semakin jelek, gersang, keras, dan penuh malapetaka. Mereka tidak mau menyiksa dan menyakiti anak-anak mereka, karena masa depan lingkungan hidup semakin suram. Pasangan itu mulai sibuk mengejar karier, kekayaan, dan sukses. Mereka berdua amat sibuk dengan menjamin masa depan dan barangkali masa tua mereka. Tidak ada waktu untuk berdoa, untuk kegiatan sosial atau membantu sesama.
Mereka terbelenggu oleh kesibukan, karya dan rencana mereka. Untuk soal itu mereka berhasil. Setiap tahun mobil mereka berganti dan rumah menjadi makin indah. Tetapi masing-masing, baik istri, maupun suami sebenarnya tidak bahagia, walaupun bicara bersama juga jarang. Mereka masing-masing seperti disuruh kerja paksa oleh pikiran, obsesi, dan pandangan hidup mereka. Kerja, maju, cari sukses, itu saja yang ada dalam pikiran mereka. Mereka dijajah, mereka merana, mereka ada di jalan buntu, walaupun mungkin belum sadar. Tetapi boleh saja manusia merencanakan, namun Tuhanlah yang menentukan.
Tanpa dikehendaki, tanpa rencana, tiba-tiba terjadi sesuatu yang tak terduga. Sang isteri di usia lanjut ternyata hamil. Hidup baru menawarkan diri. Mereka saling memandang, mereka mulai berbicara, mereka merenungkan hidup, kesibukan mereka selama ini. Mereka mengaku bahwa tanpa harapan, tanpa iman, hidup mereka sebenarnya kosong, mencekam, dan membosankan. Kini berkat Tuhan ada tawaran perubahan, pembebasan dalam hidup mereka. Hidup baru, kedatangan hadiah Tuhan, membuat hidup mereka berubah.
Pada saat hidup menjadi layu dan kering, tiba-tiba Tuhan menunjukkan jalan keluar. Kepala mereka terangkat, hati mereka diarahkan pada si kecil, mungil, dan lemah. Dan, hidup mereka pun berubah menjadi bermakna, belenggu penjajahan kerja paksa, tanpa tujuan dan nilai abadi dipatahkan. Tiba-tiba mereka mendapatkan masa depan yang baru, mereka mulai ada waktu untuk mencintai, berdoa, bersyukur, dan berharap. Yang hampir mati dan tidak berbuah, ternyata berkat intervensi Allah mulai bertumbuh, berkembang, dan berbuah.
Kita sering diajak untuk menyadari bahwa pola, cara hidup kita sering salah. Membosankan, penuh kesibukan tetapi tanpa tujuan atau arah, hidup kita seperti terancam kepunahan, pesimisme, dan ketakutan. Buat apa semuanya? Ke mana hidup kita? Bagaimana masa depan anak-anak kita? Gelap gulita, ancaman, dan ketakutan kadang-kadang menguasai pikiran dan hati kita. Tetapi itu bukan akhir, sebab di tengah-tengah penderitaan, ada Allah, ada uluran tangan-Nya, yang menghendaki dunia, pikiran, hidup yang baru. (Hidup untuk Menghidupkan)