Intisari-Online.com – Ayahku tipe pendiam yang bisa diandalkan. Semasa aku menginjak dewasa, jarang sekali aku melihat Ayah marah atau meninggikan suara dalam perdebatan. Ia sering merasa tidak nyaman karena alergi yang diidapnya, tapi ia tidak pernah menumpahkan kekesalannya pada kami. Ia juga tak pernah menyampaikan perasaan sayangnya padaku, karena ia memang bukan tipe seperti itu. Ini sulit sekali bagiku yang sedang menginjak dewasa.
Aku ingat suatu kali aku menangis dan terus menangis. Akhirnya ibuku datang menghibur. Kemudian Ayahku menyampaikan pendapatnya. Kalau kau sengaja mencari perhatian supaya ada yang mengatakan “Aku sayang padamu”, kalimat itu jadi kehilangan makna dan tidak akan banyak menghibur.
Namun, jauh di dalam hati kecilku, aku yakin bahwa Ayah menyayangiku. Ia memang sulit didekati, tapi aku ingat, aku pernah menemukan cara untuk membuatnya sedikit membuka diri. Ia baru mau bicara lebih bebas saat aku bekerja bersamanya. Selama bertahun-tahun yang kulalui menjelang dewasa, tak pernah kulihat ia menangis.
Bertahun-tahun kemudian, anak laki-laki pertamaku lahir. Cucu pertama Ayahku. Anak itu dilahirkan pada jam-jam yang gelap dan dingin, saat badai salju tengah melanda.
Masih merasa lelah dan takut, aku menelepon orangtuaku. Berhubung badai masih mengamuk, mereka hanya bisa berjanji untuk “mencoba datang” keesokan harinya.
Aku dan suamiku masih berstatus pelajar dan sangat miskin. Kami tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, jadi aku hanya bisa tinggal sebentar di sana. Masih merasa lelah dan beku oleh gelombang emosi, perasaan bahagia dan putus asa yang berbaur jadi satu, aku ingin sekali tinggal lebih lama di rumah sakit.
Keesokan harinya, menjelang sore, teman sekamarku pergi berjalan-jalan, sekaligus untuk makan makanan kecil. Aku berbaring bersama bayiku yang tertidur. Aku mencoba tidur, tapi tak bisa. Aku terperanjat mendengar suara ketukan pelan. Perawat melongok ke dalam.
“Ini memang bukan jam berkunjung,” katanya,” tapi ada tamu istimewa untuk Anda.” Lalu ia pergi.
Ayahku berdiri di ambang pintu, tampak sangat canggung berada di situ. Ia membawa setangkai bunga anyelir biru dalam sebuah vas putih berpita biru. Kurasa ia membeli vas itu di toko hadiah di rumah sakit. Ia masih mengenakan mantel kerjanya yang lusuh dan kotor. Melihat tanah di tangan dan wajahnya, aku tahu bahwa ia datang langsung sesudah bekerja.
Ia menatapku malu-malu, sambil masuk perlahan-lahan ke dalam kamar. Mata kami bertemu.
Kulihat setitik air mata di matanya. Lalu air mata itu bergulir pelan di pipinya. Disusul setetes air mata lagi. Lalu setetes lagi.
Aku belum pernah melihat ayahku menangis – emosi tanpa kata itu sangat menggugah perasaan. “Mau melihat cucu Ayah?” tanyaku, berusaha menyembunyikan perasaan canggungku sendiri. Tapi tak ada gunanya. Mataku juga sudah penuh air mata.
Lalu kami sama-sama menangis, sementara ayahku dengan takut-takut melangkah semakin dekat dan menyodorkan bunga yang dibawanya padaku. Perlahan-lahan ia menjulurkan leher untuk melihat si bayi – sambil tetap menjaga jarak. Ia hanya sebentar menjengukku. Lalu ia pergi lagi.
Meski sedikit sekali kata-kata yang diucapkan pada kunjungan itu, kedatangan ayahku membuatku sangat tersentuh. Aku tahu, tanpa keraguan sedikit pun bahwa Ayah menyayangiku dan merasa bangga terhadapku. Air matanya senantiasa kukenang di hatiku. (Robin Clifton - Chicken Soup for the Expectant Mother’s Soul)