Ketika Tak Percaya Pada Anak

Agus Surono

Editor

Ketika Tak Percaya Pada Anak
Ketika Tak Percaya Pada Anak

Intisari-Online.com - Bagaimana menyikapi tindakan negatif anak? Percaya begitu saja? Memberi pelajaran? Semoga cerita di bawah memberi pemahaman bahwa terkadang kita sebagai orangtua menganggap anak itu sosok dewasa yang kecil.

Beberapa minggu yang lalu Bimo yang masih berusia 5 tahun minta izin kepada Bundanya untuk ikut mengaji di musala dekat rumah. Pengajian itu sebenarnya diikuti anak-anak yang sudah agak besar. Setidaknya yang sudah di TK dan SD. Sang Bunda berpikir tak ada salahnya mengizinkan. Toh jarak musala dekat dan gurunya juga kenal baik dengan Sang Bunda. Sang Bunda pun memberi tahu beberapa hal selama Bimo mengikuti pengajian. Seperti tidak berisik, duduk yang manis, dan tidak mengganggu teman yang lain.

Suatu ketika Bimo minta buku dan pensil warna. Sang Bunda mengasih satu set pensil warna dan buku lalu dimasukkan ke dalam tas ranselnya. Tak seberapa lama, Bimo pulang dengan menangis. Sang Bunda mengira Bimo bikin masalah dan dimarahi sama gurunya. Ternyata bukan. Katanya dia sebal dengan kakak-kakak di pengajian karena memainkan pensil warnanya. Bimo pulang tanpa pensil maupun buku yang dia bawa tadi.

Sang Bunda terdiam, kemudian mengajak Bimo kembali ke musala untuk membantu mencari pensil dan buku. Setelah pengajian selesai, mereka pun mencari pensil dan buku di dalam musala. Hasilnya nihil!

Ada yang bilang tas Bimo tadi dalam keadaan terbuka. Bisa jadi barang-barang itu terjatuh. Sang Bunda pun mengajak Bimo menelusuri sepanjang rumah - musala, siapa tahu pensil dan buku terjatuh. Tidak ketemu juga. Bimo pun bersikeras bahwa barang-barangnya ada di musala, disembunyikan oleh anak-anak.

Pada akhirnya pensil dan buku tidak ketemu. Sang Bunda pun menasehati agar lain kali lebih berhati-hati menjaga barang-barang miliknya. Sebagai hukuman, Sang Bunda tidak membelikan dulu pensil warna pengganti. Bimo protes bahwa dia sudah berhati-hati. "Pensil sama bukunya di-mainin kakak-kakak, Bun!" ucapnya. Sang Bunda tak mengacuhkannya.

Beberapa minggu terlewati. Sang Bunda nyaris lupa dengan hal itu. Bimo pun sudah tak pernah lagi mengungkitnya. Sampai suatu ketika, sepulang salat berjamaah bareng ayahnya di musala, Bimo dengan riang mengeluarkan sesuatu dari saku celananya: pensil warna oranye!

Sang Bunda pun terkejut. "Bimo cuma mau nunjukin ke Bunda, kalau waktu itu dia tidak ngilangin pensil warnanya. Itu ketemu satu di musala," kata Ayah.

Sang Bunda langsung tercekat membisu. Ia mulai merasa bersalah tidak mempercayai Bimo. Tanpa mendengar sungguh-sungguh penjelasannya, Sang Bunda malah menasehati Bimo untuk hati-hati dan gak ceroboh.

Sang Bunda lalu memeluk Bimo tanpa tersadar butir-butir air mata menetes di pelupuk mata.