Kisah Seorang Sopir Taksi

K. Tatik Wardayati

Editor

Kisah Seorang Sopir Taksi
Kisah Seorang Sopir Taksi

Intisari-Online.com – Kisah berikut ini berasal dari cerita seorang pengemudi taksi yang mengubah pandangannya soal kehidupan.

Dua puluh tahun yang lalu, aku bekerja sebagai sopir taksi. Suatu kali aku, di tengah malam yang gelap, aku tiba di sebuah bangunan yang gelap kecuali lampu di jendela lantai dasar. Panggilan taksi berasal dari daerah sini.

Dalam kondisi seperti ini, banyak supir yang akan membunyikan klakson sekali atau dua kali, tunggu sebentar, lalu pergi. Namun aku menyadari bahwa di daerah seperti ini, banyak orang menggantungkan taksi sebagai satu-satunya alat transportasi. Jadi, aku menghentikan taksiku, berjalan ke pintu, dan mengetuk.

“Tunggu sebentar,” jawab seorang lansia dengan lemah.

Aku bisa mendengar sesuatu yang diseret di lantai. Setelah jeda panjang, pintu terbuka. Seorang wanita kecil umur 80-an berdiri di depanku. Ia mengenakan gaun dan topi kotak dengan kerudung, serta membawa sebuah koper kecil.

“Apa kau bisa membawakan tas saya ke mobil?” tanya wanita itu. Aku mengambil koper itu dan memasukkan ke mobil, lalu kembali membantu wanita itu. Ia meraih lenganku dan kami berjalan perlahan-lahan. Ia terus berterima kasih atas kebaikanku.

“Tak usah dipikirkan,” kataku. “Aku hanya ingin memperlakukan seolah-olah kau adalah ibuku.”

“Oh, kau anak yang baik,” katanya. Ketika kami sampai di dalam taksi, ia memberi saya alamat, kemudian katanya, “Bisakah kau berkendara melalui pusat kota?”

“Tapi bukannya itu memutar jalannya?” jawabku cepat.

“Oh, saya tidak terburu-buru. Aku sedang dalam perjalanan ke rumah sakit.”

Aku melihat kaca spion tengah. Matanya berkaca-kaca.

“Saya tidak punya keluarga,” lanjutnya. "Dokter bilang, umur saya tidak lama lagi.”

Aku diam-diam mengulurkan tangan dan mematikan argometer. “Apa rute yang harus saya lalui?”

Selama dua jam berikutnya, kami melaju melalui kota. Wanita tua itu menunjukkan gedung tempat ia pernah bekerja sebagai operator lift. Kami melaju melalui lingkungan saat ia dan suaminya pernah tinggal ketika mereka masih pengantin baru. Ia menyuruh saya berhenti di depan sebuah gedung mebel. Di ballroom gedung itu, saat gadis ia unjuk kebolehan dalam hal tari menari.

Kadang-kadang ia meminta saya memperlambat di depan sebuah bangunan tertentu atau sudut sebuah jalan. Dari tempat duduknya ia menatap ke kegelapan di luar, tanpa mengatakan apa-apa.

Tiba-tiba ia berkata, “Aku lelah. Mari kita pergi sekarang.”

Kami melaju dalam keheningan malam menuju ke alamat yang telah diberikannya padaku.

Alamat yang dituju adalah sebuah bangunan rendah, seperti rumah peristirahatan kecil. Dua petugas kesehatan keluar saat taksi kami berhenti. Mereka cemas dan mengawasi setiap gerakan wanita. Ternyata mereka telah cukup lama menanti wanita tua itu. Aku membuka bagasi dan mengambil koper kecilnya. Wanita itu lalu duduk di kursi roda.

“Berapa yang harus saya bayar?” tanyanya sambil merogoh tasnya.

“Tidak perlu Nek,” kataku.

“Tapi, Anda sedang mencari nafkah,” katanya.

“Ada penumpang lain.”

Tanpa berpikir, aku membungkuk dan memeluknya. Ia memegangku erat-erat.

“Kau memberi seorang wanita tua sebuah sukacita kecil,” katanya. “Terima kasih.”

Aku meremas tangannya, kemudian berjalan ke mobil dan menyongsong cahaya pagi yang redup. Di belakang saya, pintu RS tertutup. Itu adalah suara penutupan kehidupan.

Aku tidak mengambil seorang penumpang pun. Aku pergi tanpa tujuan, melamun. Selama sisa hari itu, aku hampir tidak bisa bicara. Bagaimana jika wanita itu bersama supir taksi lain yang tidak sabar? Bagaimana jika aku menolak mengantarnya?

Aku tidak berpikir bahwa aku telah melakukan sesuatu yang lebih penting dalam hidupku. Kita dikondisikan untuk berpikir bahwa kehidupan kita berputar di sekitar momen besar. Tapi momen besar itu sering tidak kita sadari dibungkus oleh sesuatu yang bagi benak orang lain tidaklah penting. (*)